Enam Anggota Tak Pernah Bicara dalam Rapat
Oleh Frans Anggal
Setiap kali sidang, masih banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang memilih diam. Hanya beberapa yang aktif bicara. Demikian pantauan Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat Indonesia (Pusam) Ende selama setahun (Flores Pos Rabu 22 September 2010).
Sekretaris Pusam Oscar Vigator memerinci. Dalam rapat, dari 27 anggota, 6 tidak pernah bicara, 9 jarang bicara, 12 sering bicara---meski perlu dinilai kualitasnya. Di jajaran pimpinan, ada yang belum pernah memimpin rapat.
Pusam sarankan solusi. Parpol perlu benah sistem perekrutan caleg agar bisa tampilkan yang mampu. Dewan perlu lakukan bimtek public speaking, tidak hanya bimtek perundang-undangan. Ketiga, pimpinan dewan perlu dorong anggota agar kemukakan pendapat pada rapat. Bila perlu bicara bergilir.
Kita hargai kerja Pusam. Ini baru untuk Ende. Sayang, Pusam belum transparan. Kenapa hanya sebutkan jumlah, tanpa sebutkan identitas anggota dan pimpinan dewan. Ini politica, bukan mathematica. Dewan itu wakil rakyat. Konstituen berhak untuk tahu: namanya, parpolnya, dapilnya, kinerjanya.
Yang dipantau Pusam itu sidang terbuka untuk umum (openbaar). Dalam artian tertentu, ini ‘rapat umum’ (public meeting). Apa yang terjadi selama rapat boleh menjadi ‘pengetahuan umum’ (public knowledge). Maka, boleh dipublikasikan. Analog dengan Piala Dunia. Identitas pemain disebutkan. Aksi mereka ditayangkan. Publik berhak untuk tahu semuanya.
Publikasi identitas akan efektif mendorong anggota dewan berbenah. Ini lebih efektif dan efisien ketimbang bimtek public speaking. Bimtek perundang-undangan saja publik protes, apalagi bimtek satu ini. DPRD bukan panti pendidikan. Bukan sekolah. Bukan tempat kursus.
DPRD itu lembaga politik: tempat politik diaktifkan. DPRD lembaga demokrasi: tempat demokrasi dirawat sekaligus diuji. Menurut sosiolog Ignas Kleden dalam kata pengantar Catatan Pinggir 2 (Goenawan Mohamad, 1994), demokrasi bertahan justru karena orang bersedia mengujinya. Yaitu, menguji semua konsekuensinya sampai pada batas yang paling ekstrem, seperti yang dialami Abraham Lincoln dengan perang saudara, Kennedy dengan krisis rasial, atau Nixon dengan krisis konstitusi.
Politik tidak mungkin diaktifkan dengan diam. Demokrasi tidak mungkin dirawat dengan bungkam. Oleh hakikat lembaganya sebagai tempat politik diaktifkan dan demokrasi dirawat, anggota DPRD tidak boleh diam dan bungkam. Harus bicara. DPRD bukan tempat samadi. Bukan tempat retret. Dalam konteks ini, silentium (diam) itu delictum (tindak kejahatan) sekaligus scandalum (perbuatan memalukan).
Di sisi lain, rajin bicara tapi ngawur juga jahat dan memalukan. Sebagaimana bicara tak boleh asal bicara, demikian pula diam tak boleh asal diam. Diam sebagai “metode”, perlu. Refleksi dan kontemplasi butuhkan diam. Kreasi dan inovasi pun begitu. Diam diperlukan selama konsientisasi (penyadaran), inkubasi (pematangan) , iluminasi (penerangan), hingga verifikasi (pengujian kebenaran). Sehingga, saatnya bicara, bicaranya berkualitas.
Sebaliknya, diam sebagai “sikap”, harus ditolak. Selama setahun, 6 anggota DPRD Ende tidak pernah bicara saat sidang. Ini jelas bukan “metode”. Ini “sikap”. Ini sudah delictum sekaligus scandalum. Semestinya Pusam sebutkan identitas mereka. Biar rakyat tidak tersesat lagi saat pemilu nanti.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar