Pasar Tradisonal di Mauemre
Oleh Frans Anggal
Ratusan pedagang Pasar Kota Baru di Maumere dan berbagai asosisi dalam Front Pedagang Pasar Kabupaten Sikka (FPPKS) berdemo ke DPRD, Rabu 1 September 2010. Mereka tolak rencana pemkab pindahkan kegiatan dagang mereka ke Pasar Alok (Flores Pos Kamis 2 September 2010).
Selain tolak rencana relokasi, FPPKS desak tata ulang Pasar Kota Baru. Terbitkan perda yang lindungi pedagangan pasar tradisional. Libatkan pedagang dalam perencanaan, peremajaan, dan pengelolaan pasar. Berikan jaminan sertifikat HGU dan HGB bagi pedagang pasar. Kelola pasar secara profesional. Batalkan rencana pembangunan supermarket di lokasi pasar tradisional.
Kalau dipadatkan, desakan FPPKS adalah revitalisasi, melawan relokasi pasar tradisional. Pasar Kota Baru itu pasar tradisional. Seperti umumnya pasar tradisional, transaksinya langsung penjual-pembeli. Ada tawar-menawar. Letaknya mudah dicapai penduduk.
Pemkab Sikka berencana jadikan lokasi pasar ini tempat supermarket. Pasar modern. Di sana, penjual-pembeli tidak bertransakasi langsung. Tak ada tawar-menawar. Pembeli tinggal lihat label harga. Bersih, sehat, aman, nyaman. Tidak kumuh seperti umumnya pasar tradisional di Indonesia.
Rupanya karena kumuh itu, pasar tradisional cenderung disingkirkan. Di Lembata, semula dalam kota, disingkirkan ke luar kota. Ditolak pedagang. Tapi kemudian, pedagang terpaksa mengalah. Pasar itu ‘terbakar’. Ditengarai, sengaja dibakar. Laporan ‘resmi’: karena hubungan arus pendek.
Sekarang di Sikka. Pasar tradisional mau disingkirkan. Bahasa resminya: direlokasi. Diganti dengan pasar modern. Selain bersih, sehat, aman, nyaman---sehingga Maumere akan tetap laik Adipura---pasar modern untungkan kantong pemkab. Juga kantong investor. Pedagang yang tersingkir kebagian buntung.
Ini ditolak FPPKS. Semoga saja pasarnya tidak ‘terbakar’ seperti Pasar Lewoleba di Lembata, atau Pasar Tanah Abang di Jakarta (2003) yang beritanya oleh Tempo lahirkan gugatan pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata.
Kita berharap Pemkab Sikka tak cari gampang. Jalan tepat bukan relokasi, tapi revitalisasi. Banyak contoh, berkat revitalisasi, pasar tradisional membanggakan. Di Indonesia, yang “legendaris” antara lain Pasar Beringharjo di Yogyakarta. Pasar tua, dalam kota, citra merek Yogya. Pasar ini bertahan, berkembang, untungkan pedagang kecil karena direvitalisasi, bukan direlokasi. Atau di luar negeri, Victoria Market di Melbourne, Australia. Berusai 150 tahun. Tetap sebagai pasar tradisional: ada tawar-menawar. Kelebihannya: bersih, sehat, aman, nyaman. Anda dianggap belum ke Melbourne kalau belum ke Victoria Market.
Bagi Sikka, di bawah SODA, revitalisasi pasar tradisioanal lebih tepat ketimbang relokasi. SODA punya moto “Mulai dari Desa”. Desa, tak cukup hanya bermakna lugas dan lokal, tapi juga harus bermakna kiasan dan kategorial. “Desa” tak hanya menunjukkan tempat, tapi juga mengiaskan dan mencakup semua yang tradisional, yang masih lemah, miskin, bodoh, tertinggal.
“Mulai dari Desa” harus berarti pula mendahulukan yang terkemudian. Mengedepankan yang terkebelakang. Preferential option for the poor. Pasar Kota Baru itu masuk kategeri “poor”. Kalau SODA murni dan konsisten dengan motonya, pasar tradisional ini mesti direvitalisasi. Bukan direlokasi alias disingkirkan. Lain halnya kalau SODA sedang mengkhianati motonya sendiri.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 3 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar