26 September 2010

Wabup Manggarai Keliru

Tanggapi Desakan Tolak Tambang

Oleh Frans Anggal

Dalam unjuk rasa Hari Tani Nasional di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Jumat 24 September 2010, petani dan berbagai elemen masyarakat desak pemkab tolak tambang. Dasarnya, selain hancurkan lingkungan, tambang rusakkan budaya pertanian (Flores Pos Sabtu 25 September 2010).

Tanggapi desakan ini, Wabup Kamelus Deno kemukakan argumentasi yang perlihatkan tolak tambang itu bisa tapi sulit. Bisa, karena ada lembaga yang berwenang. Sulit, karena lembaga berwenang itu bukan pemkab.

Menurut dia, konteks pertambangan itu negara. Yang atur pertambangan itu hukum dan UU, bukan agama atau akal sehat. Tambang ada karena ada UU-nya. Selagi UU-nya ada, tambang tetap ada. Kalau mau hapus tambang, cabut dulu UU-nya. Desak ke DPR RI (bukan pemkab). DPR berwenang untuk itu.

Tambang punya banyak tahapan, katanya. Sepanjang semua tahapan ikut ketentuan, tidak ada masalah. Kalau ada, pemerintah harus bertindak. Contoh, dalam kasus kerusakan hutan lindung pada tambang mangan di Soga, Pemkab Manggarai bertindak konkret: cabut izin kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia, meski karena itu pemkab digugat dan kalah.

Wabup Deno benar. Yang atur pertambangan adalah hukum dan UU, bukan agama atau akal sehat. Betul. Tapi tidak berarti hukum dan UU tak punya dasar moral (dari agama) dan dasar rasional (dari akal sehat). Hukum dan UU berdiri di atas prinsip moral dan rasional. Hanya, untuk prinsip moral, atribut partikular agama dicopot begitu ia diakomodasi dalam hukum publik.

Ini perlu diperhatikan pejuang tolak tambang. Dalam konteks negara, jangan gunakan argumentasi agama. Nilainya boleh, formulasinya jangan. Nilai moral bisa diterima jadi hukum publik hanya atas dasar kesepakatan rasional, bukan atas dasar norma agama. Contoh: merusak lingkungan itu rugikan kesejahteraan umum. Ini rasional dalam konteks negara, ketimbang formulasi: merusak lingkungan itu merusak keutuhan ciptaan, merusak citra Allah, dst.

Sayangnya, Wabup Deno mulai keliru ketika gambarkan tolak tambang itu bisa secara formal tapi sulit secara faktual. Ia salah tatkala mengacukan ke-bisa-an formal itu pada DPR RI. Padahal, ke-bisaan-an itu ada pada bupati.

Cermati desakan para pemangku kepentingan, termasuk Gereja Katolik Keuskupan Ruteng. Mereka desakkan “tolak tambang”. Bukan “cabut UU tambang”. Maka, tidak perlu ke DPR. Cukup ke bupati. Bupati punya kewenangan tolak tambang, dengan cara tidak beri izin, tidak perpanjang izin, dan cabut izin tambang. Bupati Manggarai sudah lakukan itu: cabut izin PT Sumber Jaya Asia. Sayangnya, hutan lindung rusak dulu baru cabut. Beda dengan bupati Ende (Paulinus Domi). Ia segera cabut izin eksplorasi tambang bijih besi begitu ada kontroversi.

UU Minerba sendiri tidak “wajibkan” daerah otonom hadirkan tambang. UU ini hanya mengatur, “kalau” ada dan inginkan tambang, ini lho ketentuannya. Kalau tambang tidak diwajibkan UU, maka tolak tambang tidak melanggar UU. Demikian pula, untuk menolak tambang, tidak perlu mencabut UU. Cukup dengan tidak beri izin, tidak perpanjang izin, dan cabut izinnya, tambang sudah bisa ditolak. Kewenangan itu ada pada bupati. Maka, tidak perlu ke DPR.

Singkatnya, secara formal, tolak tambang bisa: oleh bupati! Kalaupun secara faktual sulit, kesulitannya bukan pada UU atau DPR, tapi lagi-lagi: pada bupati! Yang jadi soal: bupati bisa tolak, tapi tidak mau tolak! Kenapa? Anda tahulah. Sudah rahasia umum koq. Maka, jangan heran kalau saat kampanye pemilukada, ada kandidat bupati yang nyatakan tolak tambang. Eh, diam-diam didanai investor tambang, dan menang. Dia oportunis sejati.

“Bentara” FLORES POS, Senin 27 September 2010

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tambang....kapankah memberi keuntungan bagi warga lokal?? tolong tunjukan pada kita buktinya..yang ada adalah kehancuran, terutama lingkungan. Pantas kalau sudah Misa Requiem bagi alam Manggarai yang sudah mati...