22 September 2010

Kecerobohan di Ende

"Barter" Tanah dengan Status PNS

Oleh Frans Anggal

Pintu masuk Puskesmas Kelimutu, Kabupaten Ende, dipagari pemilik tanah, Selasa 14 September 2010, pukul 15.00. Alasan: pemkab (masa lalu) tidak tepat janji. Anaknya belum juga diangkat jadi PNS. Perjanjian “barter” tanah-PNS ini lisan. Puskesmas pun dibangun tanpa dokumen penyerahan tanah. Setelah didekati, pemilik tanah bersedia bongkar kembali pagar pukul 19.00.

Ini yang kedua. Tunggu saja, akan terjadi pemagaran ketiga dst kalau janji belum kunjung ditepati. Pemkab kewalahan. Regulasi formasi CPNSD tidak layakkan anak si pemilik tanah. Saat awal perjanjian, anaknya masih di SMA. Ketika ia tamat, formasi SMA tidak ada. Maka, kini disarankan, ia lanjut ke perguruan tinggi. Rupanya, begitu tamat nanti, otomatis PNS.

Apa yang tak beres di sini? Dokumen! Begitu pendapat anggota DPRD Yustinus Sani. Menurutnya, pemagaran ini bukti kecerobohan pemerintah. Pemilik tanah belum tanda tangani penyerahan tanah, pemerintah sudah bangun puskesmas. Ia anjurkan solusi yang pasti dan segera. “Bisa jual beli atau nego yang untungkan kedua belah pihak” (Flores Pos Sabtu 18 September 2010).

Kritik dan sarannya tepat. Tapi tidak cukup. Bidikannya hanya sebatas dokumen penyerahan tanah. Atas dasar ini ia menilai pemerintah ceroboh: membangun puskesmas di atas tanah yang belum diserahterimakan. Kalau konsisten dengan argumentasi ini, harus dikatakan pula: seandainya puskesmas dibangun setelah penandatanganan dokumen maka pemerintah tidak ceroboh.

Benarkah? Dalam hal itu, ya. Dalam hal lain, yang jauh lebih mendasar, justru tidak. Pemerintah sangat ceroboh. Status PNS koq begitu mudahnya “dibarter” dengan tanah. Regulasi formasi CPNS disepak buang. Testing, prajabatan dll sekadar formalitas. Meski tidak lulus, anak pemilik tanah wajib lolos. Selain tidak adil, ini hancurkan kualitas sumber daya aparatur.

Kecerobohan ini, patut dapat diduga, berakar pada kecerobohan lain. Benarkah pemerintah tidak punya anggaran membeli tanah sehingga harus “dibarter” dengan PNS? Jangan-jangan, dana ada, tapi dikorupsi pejabat, kemudian kemiskinan negara dijual kepada masyarakat seraya memohon pengertian agar sudi kiranya menerima “barter”, atas dasar suka sama suka, secara lisan.

Kecerobohan inilah yang semestinya disoroti DPRD. Jangan hanya berhenti pada cara pandang yang melulu teknis. Cara pandang: yang penting ada hitam di atas putih. Yang penting ada dokumen. Yang penting ada kuitansi. Yang penting “kertas” dan “huruf” hukum. “Roh” hukum, moralitas, diabaikan.

Itu yang tak dapat dibenarkan. Yang teknis mengalahkan yang etis. Modus korupsi justru gandrungi anutan seperti ini. Yang secara etis ceroboh,secara teknis cermat. Yang secara etis korupsi, secara teknis jual-beli. Ada contohnya, dari humor. “Contoh Pejabat Anti-Kurupsi” (http://ketawa.com).

Setelah proyek triliunan rupiah selesai, seorang pejabat (P) kedatangan kontraktor (K) pemenang tender. K: Pak, ada hadiah untuk Bapak. Mercy S 320. P: Anda mau menyuap saya? Tender dah kelar kok. Jangan gitu ya! K: Tolonglah Pak, diterima. P: Ah, saya gak sudi! K: Gini aja, Pak. Gimana kalau Bapak beli saja mobilnya. P: Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu! K: Gampang, Pak. Bapak beli mobilnya Rp10 ribu saja. P: Bener ya? Ok, saya mau. Jadi, ini bukan suap. Pake kuitansi ya. K: Tentu, Pak. P serahkan selembar Rp50 ribu. K: Oh, terima kasih Pak. Ini kembaliannya Rp40 ribu. P: Gak usah pake kembalian segala. Tolong kirim lagi 4 mobil ke rumah saya!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 September 2010

Tidak ada komentar: