Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Di tengah kontroversi putusan tingkat banding PT Kupang yang bebaskan Anus Waja dan Theresia Tawa, pakar forensik Mun’im Idris lagi-lagi angkat bicara. Isinya sama dengan pernyataannya ketika pertama kali menyimpulkan hasil autopsi. Romo Faustin Sega Pr meninggal bukan karena sakit jantung, tapi karena kekerasan tumpul.
“Saya sudah merekam semua hasil wawancara dengan Profesor Mun’im. Beliau tegaskan bahwa Romo Faustin meninggal karena benturan benda keras sehingga menimbulkan pendarahan di otak besar,” kata penyidik Polda NTT Buang Sine. Ia wawancarai Mun’im Idris di Jakarta, Kamis 2 September 2010 (Flores Pos Selasa 7 September 2010).
Hasil autopsi tidak menyebutkan Romo Faustin meninggal karena “dibunuh”. Yang disebutkan hanyalah: korban meninggal karena pendarahan di otak besar, akibat benturan keras benda tumpul. Oleh penyidik dan penuntut, fakta ini disinkronkan dengan petunjuk, kesaksian, dan barang bukti. Lahirlah simpulan, korban “dibunuh”, secara “terencana”, oleh Anus Waja dan Theresia Tawa.
Dakwaan “pembunuhan berencana” dikukukuhkan selama persidangan dan menjadi fakta persidangan. Atas dasar ini dan oleh keyakinan yang timbul daripadanya, hakim PN Bajawa memvonis Waja-Tawa penjara seumur hidup.
Menurut kuasa hukum keluarga korban, Petrus Salestinus, dilihat dari pertimbangannya, ada kecenderungan hakim jatuhkan hukuman mati. Namun, karena Gereja Katolik menolak hukuman mati, penjara seumur hiduplah yang dinilai tepat.
Dengan kata lain, PN Bajawa mengalahkan yang ’layak’ (fit) demi yang ’patut’ (proper) bagi Waja-Tawa. Berbeda dengan KBBI yang sinonimkan begitu saja ’layak dan patut’, kamus Inggris membedakan betul fit and proper. Padanan yang tepat bagi fit bukan ’layak’, tapi ’pas’. ’Setelan yang pas’ disebut fit suit. Pas (fit) belum tentu patut (proper). Setelan dinas bupati bisa ’layak’ (baca: ’pas’) pada tubuh kades, tapi tentu tidak ’patut’ jika dikenakan kades. Kata ’layak’ mengarah pada yang teknis. Kata ’patut’ mengarah pada yang etis. Kata ’layak’ menunjuk muatan formal. Kata ’patut’ menunjuk muatan moral.
Secara teknis dan formal, berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim PN Bajawa, Waja-Tawa ’layak’ dihukum mati. Namun, secara etis dan moral, berdasarkan pertimbangan rasa keadilan Gereja Katolik, hukuman mati itu tidak ’patut’. PN Bajawa pun mengalahkan yang ’layak’ itu demi yang ’patut’. Waja-Tawa cukup divonis penjara seumur hidup.
Tidak berlebihkan kalau dikatakan, vonis ini tidak hanya adil, tapi juga berbelas kasih. Ini bangunan maksimal dan optimal antara yang teknis dan yang etis, antara yang formal dan yang moral.
Betapa kita terkejut ketika bangunan ini dihancurkan oleh PT Kupang. Waja-Tawa divonis bebas. Vonis bebas tidak saja tidak ’layak’, tapi juga tidak ’patut’. Ini penghancuran total hukum dan moral. Yang teknis dan yang etis dirubuhkan sekaligus. Penyidik dan penuntut seakan dipaksa mulai dari nol. Maka, Mun’im Idris diwawancarai lagi, meski isinya tetap sama dengan hasil autopsinya beberapa bulan lalu.
Kita berharap, penghancuran total hukum dan moral ini hanya terjadi di PT Kupang. Di MA mudah-mudahan tidak. Kita percaya, kasasi akan membangun kembali apa yang telah dihancurkan PT Kupang.
“Bentara” FLORES POS, Senin 13 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar