Oleh Frans Anggal
Dari Kabupaten Sikka dilaporkan, petani tiga desa terancam kelaparan. Ratusan hektare padi dan jagung terserang belalang. Sebagian dari mereka mulai makan ubi-ubian. Dinas pertanian membagikan 2 ton kacang hijau. Pembasmian hama dengan pestisida sudah dilakukan. Kini populasi belalang mulai menurun.
Hama, kekeringan, gagal tanam, gagal panen, hingga rawan pangan dan kelaparan merupakan kisah berulang di NTT. Ini sangat erat kaitannya dengan iklim provinsi ini yang cenderung tergolong iklim lahan kering. Topografinya pun berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Kedalaman tanahnya relatif tipis. Kondisi ini menyebabkan tanaman yang dapat tumbuh relatif terbatas. Maka lahirlah ekosistem unik dengan budaya nafkah yang unik pula. Budaya ini hasil penyesuaian diri penduduk terhadap lingkungan alam yang cenderung membatasi usaha-usaha pertanian mereka.
Dari kasus hama di Sikka, terlihat bagaimana budaya nafkah itu berusaha menjamin ketersediaan pangan secara berlapis. Saat beras dan jagung habis, masyarakat beralih ke ubi-ubian. Masyarakat NTT umumnya memiliki tiga penyangga utama ketersediaan pangan.
Penyangga pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena pada dasarnya pola hidup masyarakat berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari, bukan pada pasar. Bila penyangga pertama runtuh (misal karena hama atau paceklik), masyarakat masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar terutama sapi, kerbau, dan kuda. Mereka menjual ternaknya untuk memperoleh pangan. Bila penyangga kedua ini ambruk, mereka masih memiliki penyangga ketiga yaitu tanaman pangan yang ada di hutan berupa tanaman non-budidaya atau liar seperti ubi hutan.
Ketahanan pangan berlapis-lapis seperti ini merupakan bentuk kearifan lokal. Ini yang perlu disadari oleh pemerintah daerah. Dan kesadaran itu sudah ada, terutama pada masa Gubernur Ben Mboi (sejak 1984). Ben Mboi memprogramkan penambahan penyangga pangan berupa industri kerajinan rakyat sebagai penyangga keempat. Dengan harapan, bila terjadi paceklik, penduduk masih bisa bersandar pada hasil kerajinannya yang dapat digunakan untuk membeli pangan. Sayangnya, program ini terlupakan oleh para penggatinya, bersamaan dengan masuknya program pembangunan yang didesain dari pusat, yang cenderung tidak peka terhadap konteks lokal.
Gubenur saat ini Piet A. Tallo memiliki falsafah yang cocok. “Mulai membangun dari apa yang ada dan yang dimiliki oleh rakyat”. Tapi sayangnya lagi, penerapannya acapkali tidak sesuai dengan semangat itu. Kini NTT menjadi provinsi termiskin ketiga di Indonesia, tapi terkorup keenam. NTT butuhkan pemimpin sekelas Ben Mboi.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 8 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar