Oleh Frans Anggal
Pemilik tanah di bakal lokasi pusat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Ropa, Kabupaten Ende, menolak menandatangani berita acara pelepasan tanah sebagaimana dituntut panitia pengadaan tanah (pemerintah). Alasan mereka, uang ganti rugi tidak diberikan penuh oleh panitia. PLTU ini murni proyek PLN. Pihak PLN sudah menyerahkan semua ganti rugi Rp6 miliar melalui panitia. Aliran dana dari panitia ke para pemilik tanah ini yang kemudian bermasalah. Panitia ternyata tidak menyetor uang itu langsung kepara mereka, tapi melalui jasa seseorang yang sebenarnya berada di luar transaksi. Dari sang perantara inilah para pemilik tanah menerima uang dalam jumlah yang jauh di bawah kesepakatan.
Yang membuat kita terheran-heran, mengapa uang itu tidak diserahkan langsung oleh panitia kepada masing-masing pemilik tanah. Mengapa harus memakai perantara tanpa sedikit pun mengkhawatirkan uang hilang atau tidak tiba dalam jumlah yang utuh. Transaksi seperti ini sungguh tidak dapat diterima akal sehat.
Cara yang ditempuh panitia menyalahi Perpes 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Perpes 65/2006 tentang perubahan atasnya. Dalam hal ganti rugi, perpres ini mengamanatkan agar penggantian diberikan atas kerugian, baik yang bersifat fisik dan/atau non-fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sebelumnya. Jelas, ganti rugi mesti diberikan kepada “yang mempunyai tanah”, bukan kepada perantara untuk diteruskan kepada pemilik tanah.
Sebelum memiliki indikasi yang kuat, kita tentu akan gegabah kalau segera menyatakan ada permainan saling menguntungkan antara panitia dan perantara. Yang buru-buru memberi penilaian tentu dengan cepat memvonis, pasti panitia dan perantara sudah kongkalikong makan uang dengan mengorbankan para pemilik tanah. Tanpa indikasi yang kuat dan bukti yang cukup, kita tidak berhak menaruh curiga. Yang bisa tegas kita katakan saat ini hanyalah bahwa cara pembayaran yang dilakukan panitia itu salah dan sangatlah janggal, dan karena itu patut dipertanyakan.
Sedangkan tentang sikap para pemilik tanah menolak pendatanganan berita acara, kita tentu harus menyatakan itulah hak mereka. Dan menyangkut hak orang, tidak ada diskusi. Tentang hak, hanya ada satu kata: penuhi! Itulah inti dari keadilan: memberikan atau menerima apa yang menjadi hak. Atas prinsip itu, sikap para pemilik tanah sangatlah tepat. Panitia harus penuhi hak mereka. Tunaikan dulu kewajiban itu barulah panitia berhak menuntut para pemilik tanah menandatangani berita acara.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 9 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar