Oleh Frans Anggal
Kegiatan belajar mengajar di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, lumpuh total, karena para guru PGRI (Persatua Guru Republik Indonesia) meninggalkan sekolah, melakukan demo menuntut pemerintah segera membayar tunjangan pendidikan. Mereka juga memperotes kendala kenaikan pangkat. Sekretaris PGRI mengancam: demo berakhir cepat atau lama tergantung dari cepat atau tidaknya tuntutan mereka dipenuhi.
Orangtua murid menyesalkan langkah ini. “Kita juga dukung perjuangan mereka, tapi jangan rugikan anak-anak. Tidak perlu semua ikut demonstrasi,” kata salah satu orangtua.
Ini kali kedua di tahun ini kaum profesional di Flores-Lembata melakukan aksi yang, demi tujuan yang baik, menghalalkan cara yang salah. Pada Januari, personel paramedis dan nonmedis RSUD Lewoleba mogok kerja empat jam. Mereka menuntut dana jasa pelayanan 9 bulan segera dibayar. Aksi ini menyebabkan pasien diterlantarkan. “Pasien menunggu terlalu lama. Kalau mau urus kewajiban, atur yang baik, jangan begini caranya, menelantarkan pasien”, kata seorang keluarga.
Terlepas dari sikap mereka menuntut hak yang memang harus dipenuhi pengemban kewajiban, kita pantas bertanya: mengapa para guru di Labuan Bajo mengulangi cara keliru yang diperlihatkan para petugas RSUD Lembata? Mengapa mereka memilih cara yang justru mengorbankan anak didik yang berhak mendapat pembelajaran pada jam sekolah? Para guru menuntut haknya sendiri dengan cara mengabaikan hak anak didik. Dari ancaman yang dilontarkan Sekretaris PGRI, terlihat bahwa cara ini sengaja mereka gunakan.
Dari kacamata etika profesi, cara seperti ini tergolong pelanggaran, bahkan kejahatan karena hak anak didik tidak hanya tidak dipenuhi tapi juga sengaja diperalat demi pemenuhan hak sendiri.
Dari kacamata etika profesi juga, cara yang digunakan menunjukkan para guru sama sekali tidak profesional. Salah satu unsur mentalitas profesional adalah ‘mentalitas etis’---meminjam istilah ‘Guru Etos Indonesia’ Jansen Hulman Sinamo. Profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan. Uang dan kekuasaan tetap mereka butuhkan, namun mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya yang tulus.
Dengan meninggalkan anak didik di sekolah, para guru yang berdemo di Labuan Bajo telah mengkhianati etika profesi pilihannya itu. Kita mengajak mereka segera mengakhiri cara yang tidak terpuji. Kita mendukung sikap mereka menuntut hak sejauh tidak mengorbankan anak didik. Kita juga mendesak Pemkab Manggarai Barat segera memenuhi hak para guru.
"Bentara" FLORES POS, Senin 4 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar