Telan Rp1 Miliar di Tengah Kemiskinan
Oleh Frans Anggal
Presiden SBY dan ibu negara Ani Bambang Yudhoyono akan kunjungi Kota Kupang, NTT, untuk resmikan Gong Perdamaian. Ini monumen, simbol perdamaian dunia. Kota Kupang kota ketiga di Indonesia setelah Ambon dan Yogyakarta yang dipilih Komite Perdamaian Dunia di bawah naungan PBB sebagai tempat monumen itu (Flores Pos Kamis 22 Juli 2010).
Kata Walikota Daniel Adoe, lokasi monumen: Taman Nostalgia, Jalan El Tari II. Anggaran Rp1 miliar. Dari APBD Perubahan 2010 yang belum ditetapkan. Tak apa-apa, karena disetujui DPRD atas pertimbangan sifatnya yang mendesak dan penting. Di taman yang sama akan dibangun prasasti Tapak Kaki. Tapak kaki gubernur, wabup, bupati, dan walikota se-NTT. Ini simbol perdamaian di NTT.
Satu miliar rupiah! Mahal atau murah? ”Jauh lebih murah dari yang dibangun di Yogyakarta dan Ambon yang mencapai lebih dari Rp2,5 miliar,” kata Dan Adoe. Tentu, lebih murah. Karena diperbandingkan. Tidak hanya murah malah, hemat. Dengan cuma Rp1 miliar, kita menghemat Rp1,5 miliar. Mengemat 150 persen. Hebat!
Sejenak, abaikanlah perbandingan itu. Lupakanlah Yogya dan Ambon. Hentikan pandangan ke provinsi lain. Arahkan ke provinsi sendiri. Tengoklah ke bawah. Mayoritas masyarakat masih miskin. Kini mereka frustrasi. Harga kebutuhan pokok naik. Di mata mereka, apa manfaat Gong Perdamaian dan Tapak Kaki?
Tidak ada manfaatnya. Selain itu, menyakitkan. Rp1 miliar habis. Dalam perbandingan ke luar, jumlah itu kecil, irit. Namun, dalam konteks NTT yang miskin, jumlah itu sangat besar. Dan yang sangat besar ini tidak untuk manusia, tapi untuk dua buah benda mati. Demikian penting dan mendesaknya, dananya pun harus diambil dari APBD perubahan yang belum ditetapkan.
Monumen dan prasasti perdamaian. NTT belum butuhkan itu. Bukan karena kita anti-perdamaian. Bukan. Kita merindukannya, tapi yang autentik, bukan yang palsu. Perdamaian autentik hanya bisa lahir dari keadilan. Si vis pacem, para iustitiam. ‘Jika inginkan perdamaian, tegakkan keadilan’. Keadilan di sini, keadilan sosial. Prinsipnya sangat sederhana, kata filosof Franz Magnis-Suseno (1987). Kemanusiaan sebuah masyarakat dapat diukur dari perhatiannya kepada anggota-anggotanya yang paling lemah, miskin, dan menderita.
Justru itu yang belum (sungguh) terwujud di NTT. Maka, monumen dan prasasti perdamaian bukanlah kebanggaan, tapi skandal! Di tengah masyarakat yang mayoritas miskin, yang khawatir akan hari esok, yang tidak punya rumah layak, yang tak miliki akses pelayanan medis dasar, yang tidak dapat berpartisipasi dalam kekayaan budaya dan kehidupan sosial dan politiik, membangun monumen dan prasasti miliaran rupiah sungguh melukai rasa keadilan.
Simbolisasinya pun janggal. Khususnya prasasti Tapak Kaki. Kata Dan Adoe, ini simbol perdamaian di NTT. Sejak kapan orang NTT berdamai pakai kaki? Sejak kapan ’jabat kaki’ menggantikan ’jabat tangan’? Simbol yang tepat: tapak tangan, yang ’menjulur’, ’menyambut’, bukan tapak kaki yang ’menginjak’. Apalagi tapak kaki pejabat. Mereka sudah tidak lagi berjalan kaki telanjang koq. Cocoknya: tapak sepatu! Dan itu bukan simbol perdamaian. Itu simbol penguasaan.
Manfaatnya bagi perdamaian pun sangat diragukan. Monumen dan prasasti itu tidak membawa efek pelatuk. Seribu monumen, sejuta prasasti, tidak merangsang perdamaian tanpa adanya keadilan sosial. Monumen dan prasasti itu pun sekadar kenangan, tentang sebuah proyek, yang menghabiskan dana publik, miliaran rupiah. Itu saja.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 23 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar