Kasus Pemukulan Pater John Balan SVD
Oleh Frans Anggal
Pater John Balan SVD, Wakil Kepala SMAK Syuradikara, dipukul seorang sopir di Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende, Rabu 28 Juli 2010. Korban sudah melapor ke polisi. Sudah divisum. Pelaku sudah ditahan. Diancam dengan pasal penganiayaan: maksimal empat tahun penjara (Flores Pos Jumat 30 Juli 2010).
Pemukulan terjadi ketika, bersama banyak orang lain, korban dan pelaku berdesakan mengambil barang bagasi di ruang penumpang. Saat berdesakan itu, tangan korban menyentuh tubuh pelaku. Emosi pelaku langsung naik. Otaknya kandas, ototnya lancar. Ia aniaya korban.
Berdesakan. Kenapa? Di bandara ini, kata Kapolres Darmawan Sunarko, pengunjung dan sopir diperbolehkan masuk sampai ke tempat pengambilan barang. Seharusnya tidak diperbolehkan. Karena, area ini hanya untuk penumpang. ”Sebenarnya, ini yang jadi akar masalah,” katanya.
Kita sepakat dengan pernyataan itu, tapi tidak seluruhnya. Tempat pengambilan barang adalah area eksklusif (hanya untuk) penumpang. Ini bukan area pengunjung, penjemput, atau sopir pencari penumpang. Mereka dilarang ke sana. Semua bandara di dunia berlakukan itu. Sudah jadi standar internasional. Bandara di Ende pun tentu berlakukan aturan yang sama.
Kalau begitu, apa yang sesungguhnya terjadi ketika para pengunjung dan sopir masuk sampai ke tempat pengambilan barang? Apakah karena mereka diperbolehkan, sebagaimana kata kapolres? Tidak! Mereka bukannya diperbolehkan, tapi dibiarkan! Larangannya jelas. Tapi petugas bandara tidak tegakkan larangan itu. Mereka biarkan larangan itu dilanggar rame-rame.
Pembiaran inilah yang mengondiskan kebersesakan dan keberdesakan tadi. Ditunjang dengan peradaban rendah orang Indonesia yang bernafsu mendahulukan dan mengutamakan kepentingan diri sendiri---dan karena itu tidak ada budaya antre di negeri ini---, maka saling sentuh, saling gesek, bahkan saling tabrak tubuh bukan hal baru. Itu biasa.
Pertanyaan kita: kenapa dalam hal yang sudah biasa itu muncul tindak kekerasan? Kenapa hanya karena tangannya menyentuh bagian tubuh si sopir, Pater John Balan ’harus’ dianiaya? Kenapa pada saat yang sama, dengan kondisi yang sama, ketika tangan orang lain menyentuh bagian tubuh orang lain, penganiayaan tidak terjadi?
Dengan pertanyaan ini kita hendak tegaskan satu hal. Kondisi bersesakan dan berdesakan bukanlah akar masalah, sebagaimana kata kapolres. Akarnya bukan kondisi. Akarnya diri si sopir sendiri. Pembedaan ini penting agar tanggung jawab hukum si sopir tidak dibagikan, apalagi dialihkan, ke kondisi itu. Secara hukum, si sopir bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Ia lakukan itu dengan sadar dan bebas. Dengan sadar, karena ia tidak sedang mengigau. Dengan bebas, karena ia bisa tidak melakukan penganiayaan, sebagaimana orang lain yang juga bagian tubuhnya tersentuh pada saat yang sama.
Karena menganiaya dengan penuh kesadaran dan kebebasan, si sopir harus dihukum secara penuh pula atau maksimal menurut pasal yang dikenakan padanya. Adapun kondisi tadi, yang memungkinkan tapi tidak menyebabkan penganiayaan, harus menjadi tamparan memalukan bagi petugas bandara.
Cukup di tempat lainlah kesemrawutan Ende terjadi. Jangan lagi di bandara. Bandara itu gerbang peradaban. Justru di gerbang ini semrawut Ende dipertontonkan. Ndoe, malu tidak ada. Ende-Lio sare pawe, katanya. Tunjukkan ’elok permai’ itu. Jangan cuma di mimbar pidato.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 31 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar