Dari Perkelahian ke Pemblokiran Jalan
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Ende. Kecamatan Ndona. Sejumlah warga Desa Nanganesa memagari jalan raya di tapal batas dengan Desa Wolotopo, Senin 12 Juli 2010. Kendaraan dilarang lewat. Yang diperbolehkan hanya pelajar dan pekerja. ”Roda perekonomian dari dan ke Desa Wolotopo lumpuh total,” kata Camat Pieter Mithe (Flores Pos Selasa 13 Juli 2010).
Aksi pemagaran ini merupaan reaksi warga Desa Nanganesa terhadap penyerangan oleh sejumlah warga Desa Wolotopo sehari sebelumnya. Penyerangan itu pun rentetan dari perkelahian beberapa hari sebelumnya, pada saat pesta nikah di wilayah Desa Nanganesa. Kasusnya sedang diselidiki polisi.
Awalnya, persoalan privat. Perkelahian antar-orang atau kelompok orang. Terjadi pada hajatan privat: pernikahan. Persoalan di ruang privat ini kemudian dibawa masuk ke ruang publik. Jalan raya itu ruang publik, berupa ruang terbuka (outdoor place), sebagaimana gang, saluran, dan taman kota. Lainnya berupa ruang tertutup (indoor place), seperti rumah sakit, kantor, dan bank.
Dari namanya, jelas. Ruang publik itu ruang yang fungsi dan manfaatnya sepenuhnya untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, jelas, tindakan sekelompok warga memagari jalan raya itu salah. Mereka telah membawa masuk persoalan dari ruang privat ke ruang publik dan merugikan kepentingan publik.
Di kota Ende dan sekitarnya, men-campur-aduk-kan yang privat dan yang publik bukan gejala baru. Hajatan nikah, kematian, sambut baru, sunatan (privat), misalnya, bisa dilakukan di jalan raya (publik). Tinggal minta izin pemerintah, beres. Jalan raya yang adalah fasilitas umum (res publica) bisa diblokir berhari-hari untuk urusan pribadi (res privata).
Pelanggaran atas kepentingan publik ini dianggap wajar. Sudah mengendap dalam memori kolektif masyarakat. Maka, jangan heran, dalam peristiwa lain, kisahnya berulang. Yang privat dipublikkan. Perkelahian antar-orang atau kelompok orang dibawa masuk ke ruang publik. Jalan raya pun dijadikan bagian dari perkelahian itu. Diblokir. Semudah memblokirnya saat hajatan nikah, kematian, sambut baru, dan sunatan.
Ditarik lebih luas, ini bukan hanya gejala di kota Ende. Publikasi urusan privat dan privatisasi urusan publik sudah jadi penyakit nasional. Urusan privat masuk dan dibahas dalam ranah publik. Sementara penyelesaian urusan publik cenderung berbuntut pada privatisasi. Ini dianggap sebagai hal wajar, biasa, dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Dalam dunia infotainmen, misalnya, yang privat dipublikasikan. Informasi privat para selebritis disiarkan televisi (ruang publik) dan seketika menjadi bahan perbincangan publik. Dari soal pacarnya, nikahnya, hamilnya, cekcoknya, hingga perceraiannya.
Dalam dunia kebijakan publik, sebaliknya. Yang publik diprivatisasi. UU Sumber Daya Air jadi contoh paling buruk. Di Jakarta, misalnya, pengelolaan air diprivatisasi. Air jadi langka. Langka bukan karena kurang, tapi karena mahal. Mahal karena dikelola swasta. Pemda cari gampang dan cari untung. Publiklah yang buntung.
Yang memprihatinkan, dalam semua penjungkirbalikan ini, publik seakan jadi ‘mayoritas bisu’ (silent majority). Ini berbahaya. Sikap diam publik akan semakin menjungkirbalikkan logika ruang publik. Etika publik (public ethics) tidak bertumbuh di negeri ini. Kalaupun bertumbuh, ia mati muda. Mati sebelum berkembang. Maka, jangan heran, kisah seperti di Ende akan tetap berulang. Kisah jungkir balik, di republik jungkir balik, Indonesia.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 14 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar