Tidak Becusnya Polisi di Flores
Oleh Frans Anggal
Penyebab kematian Eduardus Zay di Kabupaten Ngada, Selasa 15 Juni 2010, diragukan keluarganya. Aloysius Ligo, paman korban, mempertanyakan apakah benar Edu Zay tewas gantung diri. Ia meminta polisi jeli melihat berbagai fakta di tempat kejadian perkara (Flores Pos Sabtu 3 Juli 2010).
Alo Ligo sebutkan beberapa fakta. Pada malam kejadian, hujan lebat, tanah berlumpur. Tapi, baju korban kering, kaki dan sandalnya tak berlumpur. Dalam posisi tergantung, kakinya menyentuh tanah. Simpul talinya pun hidup dan pasti terlepas kalau korban melompat. Lidahnya tak menjulur. Matanya tak melotot.
Apakah benar Edy Zay tewas gantung diri? “Polisi belum simpulkan itu, karena kita masih melakukan penyidikan, dan kasus ini sedang diperiksa di Polsek Golewa,” kata Kasat Reskrim I Gede Sucitra. Korban sudah divisum, namun polisi belum dapatkan hasilnya.
Pernyataan kasat reskrim berbeda dengan pernyataan sebelumnya oleh Kanit Reskrim KBO Jhon Riberu. Menurut hasil olah tempat kejadian perkara, kata Jhon Riberu, “korban murni bunuh diri dengan cara gantung diri di pohon manggga dalam hutan kopi” (Flores Pos Rabu 16 Juni 2010).
Tak perlu analisis panjang untuk menilai polisi tidak becus. Kasat reskrimnya bijaksana. Hati-hati menyimpulkan. Sedangkan kanit reskrimnya terlalu gegabah. Simpulkan cepat tanpa premis lengkap. Bayangkan: langsung pada hari kejadian, ia nyatakan korban murni bunuh diri. Hanya atas dasar olah TKP. Hasil visum belum ada. Demikian pula keterangan, petunjuk, dan bukti awal.
Kasus Edu Zay memperpanjang daftar ketidakbecusan polisi di Flores. Sebelumnya, ketidakbecusan mencuat pada proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr di Ngada dan kematian Nurdin bin Yusuf di Sikka. Kita hanya menyebut dua ini karena menonjol, tanpa meremehkan banyak kasus lain yang kontroversinya terkubur begitu saja bersama jenazah para korban.
Dalam kasus Romo Faustin, simpulan awal plus ngotot kapolres Ngada: korban mati wajar. Mati karena serangan jantung. Proses hukumnya hendak dihentikan. Kapolres ini diganti. Penanganan kasus diambil alih polda NTT. Barulah muncul simpulan sebenarnya: korban tewas dibunuh. Proses hukum pun berlanjut. Dua pelaku divonis penjara seumur hidup.
Dalam kasus Nurdin bin Yusuf, simpulan awal plus ngotot kapolres Sikka: korban tewas karena lakalantas tunggal. Proses hukumnya dihentikan. Keluarga ‘tembak langsung’ ke polda. Si kapolres belum diganti, tapi penanganan kasus sudah diambil alih polda NTT. Barulah muncul simpulan sebenarnya: korban tewas dibunuh. Beberapa pelaku sudah mengaku. Proses hukum dilanjutkan.
Kalau semua kapolres seperti ini, membunuh sesama itu gampang dan aman. Betapa tidak, tinggal pilih ‘versi’-nya, mau yang mana. Mau “di-mati-wajar-kan” seperti pada kasus Romo Faustin, atau “di-lakalantas-kan” seperti pada kasus Nurdin, atau “di-bunuh-diri-kan” seperti pada kasus Edu Zay.
Menjadi pertanyaan kita: apakah polisi sudah begitu malasnya sehingga menyimpul-gampangkan motif kematian seseorang? Ataukah sudah begitu bodohnya sehingga menyimpul-kelirukannya? Ataukah sudah begitu bobroknya sehingga sangaja menyimpul-salahkannya?
Malas, bodoh, bobrok. Ketiganya tidak hanya menghancurkan kinerja dan citra polisi, tapi juga merusak kamtibmas. Yang paling terancam di sana adalah kehidupan. Nyawa bukan lagi soal ‘nilai’ (value) tapi soal ‘harga’ (price). Bukan lagi soal ‘hormat’ tapi soal ‘bayar’. Nyawa dikomoditaskan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 5 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar