Tiga Tersangka Belum Disidangkan
Oleh Frans Anggal
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) NTT Meridian Dewanta Dado, yang juga anggota kuasa hukum Keuskupan Agung Ende mempertanyakan kinerja Polda dan Kejati NTT yang tidak tuntas memproses hukum tiga tersangka dugaan pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr (Flores Pos Selasa 22 Juni 2010).
“Masih ada tiga tersangka lain, yaitu Yosef Seke, Dominikus Loji, dan Francis Kolosada, yang belum disidangkan perkaranya serta masih dalam pemeriksaan Polda NTT,” kata Dado. “Ketiganya merupakan pihak yang diduga secara bersama-sama dan berencana melakukan pembunuhan terhadap Romo Faustin, selain dua pelaku lainnya yaitu Theresia Tawa dan Anus Waja yang telah divonis hukuman seumur hidup oleh PN Bajawa pada 23 Maret 2010.”
Sebagai pihak yang bersama-bersama melakukan tindak pidana, semestinya ketiga tersangka diproses hukum bersama-sama pula dengan Tawa dan Waja. Kalaupun berlainan waktunya karena berkasnya dipisahkan, intervalnya tidak boleh terlalu lama. Koq sampai tiga bulan!
Keberlarutan ini merugikan semua pihak. Terutama, ketiga tersangka itu. Tersangka atau terdakwa punya hak diproses hukum secara cepat, agar cepat pula memperoleh kepastian status hukumnya. Kalau tidak bersalah, ia berhak secepatnya di(putus)bebaskan. Sebaliknya, kalau bersalah, ia berhak secepatnya mengetahui bentuk kesalahan dan masa hukumannya.
Hal itu semakin mendesak manakala tersangka atau terdakwa ditahan oleh polisi, jaksa, atau hakim demi dan selama proses hukum. Sebab, dampaknya sangat besar. Semakin singkat proses hukum, semakin pendek masa tahanan. Sebaliknya, semakin lama proses hukum, semakin panjang masa tahanan.
Bayangkan: kalau akibat berlarutnya proses hukum, tersangka atau terdakwa harus sekian lama menjalani masa tahanan, tanpa mengetahui apa bentuk kesalahannya dan berapa lama semestinya ia dihukum menurut vonis yang akan datang. Ini sudah merupakan ketidakadilan, bukan?
Sayangnya, ketidakdilan ini sering kurang disadari. Karena, terlanjur dianggap sekadar sebagai diskresi milik polisi, jaksa, hakim. Para penegak hukum ini dipandang berhak melanggar aturan demi menegakkan kamtibmas. Bahkan, dipandang berhak bertindak tidak adil demi menegakkan keadilan. Contohnya, penahanan itu.
Penahanan itu sendiri sudah merupakan hukuman! Hukuman sebelum hukuman. Hukuman yang mendahului vonis. Hukuman ini dipandang sah, sehingga dalam vonis, masa penahanan tetap diperhitungkan, dengan formula “potong masa tahanan”. Hanya polisi, jaksa, dan hakim yang dibolehkan melakukan diskresi seperti ini. Pada batas yang wajar, kita terima.
Yang sering menjadi keprihatinan kita, diskresi tidak dijalankan secara bertanggung jawab. Diskresi seakan-akan sama dengan ke-se-mau-gue-an polisi, jaksa, dan hakim. Suka-sukanya mereka. Proses hukum pun dibikin berlarut-larut, sehingga tersangka atau terdakwa dihukum sekian lama sebagai tahanan, tanpa mengetahui apa bentuk kesalahannya dan berapa lama sepatutnya ia dihukum menurut vonis.
Inilah yang terkesan sedang dipertontonkan oleh Polda dan Kejati NTT. Ini pula yang kita tolak. Sebab, sebesar apa pun kesalahan tersangka, hak hukumnya tidak boleh dihilangkan. Tindakan pidananya boleh kita kutuk, tapi hak hukumnya harus kita bela.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar