Kontroversi Pertambangan Biji Besi di Riung
Oleh Frans Anggal
Bupati Ngada Piet Yos Nuwa Wea menegaskan, acara perdamaian adat “rambu rangke” antar-masyarakat Riung Seriwu yang difasilitasi pemkab bukan ajang peresmian ekplorasi pertambangan biji besi di Riung sebagaimana diisukan di tengah masyarakat.
“Rambu rangke” digelar di halaman kantor camat Riung, Sabtu 26 Juni 2010. Ditandai penyembelihan kerbau jantan merah oleh bupati. Hadir, para petinggi pemerintah, DPRD, polres, dan para tokoh adat (Flores Pos Kamis 1 Juli 2010).
Yang menarik di sini bukan isi pernyataan bupati. Pernyataannya benar. Tanpa dikatakan pun, “rambu rangke” jelas bukan peresmian pertambangan. Itu perdamaian adat. Mengapa pernyataan itu dilontarkannya, itu yang menarik.
Jauh sebelum “rambu rangke” digelar, isu sudah beredar. Bupati akan resmikan ekplorasi pertambangan biji besi di Riung pada atau melalui “rambu rangke”. Isu ini santer di kalangan masyarakat tolak tambang. Terutama pada masyarakat adat Ria-Latung yang tanah adatnya ‘akan’ dijadikan objek.
Isu bukanlah berita. Sebab, isu itu tanpa verifikasi. Kendati demikian, isu selalu mudah dipercaya. Terutama pada masyarakat yang telah terkondisikan untuk mudah mempercayainya. Pengondisian bisa melalui berbagai cara, yang oleh Reuel L Howe dikategorikan sebagai perintang komunikasi. Bisa berupa bahasa, citra, kecemasan, bela diri, dan maskud berlawanan.
Pada kasus “rambu rangke”, yang menjadi perintang utama yang menyebabkan acara adat itu di-salah-isu-kan adalah dua hal ini. Citra bupati dan kecemasan masyarakat. Di kalangan masyarakat adat Ria-Latung, bupati telah tercitra sebagai pendukung tambang. Tahun 2009, ia memberi izin kuasa pertambangan kepada PT Graha Kencana Perkasa untuk eksplorasi bahan galian biji besi dan mineral serta pengikut lainnya. Masyarakat adat Ria-Latung menyatakan menolak. Mereka akan melawan tambang sampai titik darah penghabisan.
Kendati demikian, masyarakat adat Ria-Latung cemas juga. Sebab, selain harus ‘melawan’ keputusan seorang bupati yang notabene punya aneka kekuatan, mereka harus berhadapan dengan masyarakat adat lain yang justru mendukung tambang. Suku Wua, Lio, Niki, Kraeng, dan Baar. Hak atas tanah (bakal) lokasi tambang pun ‘diperebutkan’ melalui klaim-mengklaim.
Dalam kondisi seperti inilah “rambu rangke” digelar. Fasilitatornya bupati yang notabene pendukung tambang. Tokoh adat yang hadir pun berasal dari suku-suku pendukung tambang. Jadi, hadirinnya sudah cocok satu sama lain sebelum “rambu rangke” digelar. Sudah akur sebelum berdamai. Kalau sudah akur, apa yang mau perdamaikan? Tidak ada, bukan?
Kalau tidak ada yang diperdamaikan maka yang digelar bukanlah perdamaian. Bukanlah rekonsiliasi. Bukanlah resolusi konflik. Tapi, konsolidasi. Mengompak-kuatkan barisan pendukung tambang. Dalam konteks pro-kontra, menguatkan yang pro sama dengan melemahkan yang kontra. Ini bentuk lain dari pemecah-belahan masyarakat.
Dalam medan makna seperti itulah tersiar isu, “rambu rangke” yang difasilitasi bupati merupakan ajang peresmian ekplorasi pertambangan. Isu seperti itu salah, tapi tidak bisa dipersalahkan. Ia hanya konsekuensi logis dari apa yang dilakukan bupati. Yang kita sesalkan, justru di pengujung masa jabatannya, bupati menorehkan luka baru. Sebuah catatan buruk di senjakala kekuasaan.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 2 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar