Kontroversi Pertambangan Biji Besi di Riung
Oleh Frans Anggal
Acara perdamaian adat “rambu rangke” masyarakat Riung Seriwu yang diprakarsai dan difasilitasi Bupati Ngada Piet Yos Nuwa Wea di Riung, Sabtu 26 Juni 2010, tidak dihadiri warga Desa Latung. Pada hari itu, warga Desa Latung menggelar Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang, yang dihadiri masyarakat Wangka, Ngera, Ria, Lengkosambi, serta JPIC OFM Indonesia dan Walhi NTT (Flores Pos Senin 5 Juli 2010).
Sesepuh adat Hironimus Kasang mengatakan, musyawarah di Latung digelar tidak untuk menandingi “rambu rangke” yang diprakarsai dan difasilitasi bupati. Sebab, musyawarah sudah direncanakan dari jauh hari. Jadi, “Kegiatan kami jangan dinilai sebagai upaya pemboikotan kegiatan ‘rambu rangke’.”
Sebagai boikot “rambu rangke”, jelas tidak. Tapi sebagai tandingan “rambu rangke”, kenapa tidak. Malahan, perlu . Sebab, kalau mau jujur, “rambu rangke” yang diprakarsai dan difasilitasi bupati itu tidak murni perdamaian adat. Malahan bukan perdamaian, kalau dilihat dari posisi pemrakarsa, fasilitator, dan pesertanya, sebagaimana diulas “Bentara” Flores Pos Jumat 2 Juli 2010.
Pemrakarsa dan fasilitatornya, bupati: pendukung tambang. Tokoh adat yang hadir, dari suku Wua, Lio, Niki, Kraeng, dan Baar: pendukung tambang. Tokoh politik yang ikut menyaksikan, Ketua DPRD Kristoforus Loko: pendukung tambang. Semua mereka saling cocok. Tak ada cekcok. Maka, tidak ada yang perlu diperdamaikan. Dengan demikian, ajang itu bukan rekonsiliasi antar-pesengketa tambang, tapi konsolidasi antar-pendukung tambang.
Dalam konsolidasi itu , bupati dan ketua DPRD terdepan. Keduanya bawakan sambutan. Isinya sama: membantah isu yang beredar. Bahwa, “rambu rangke” bukan ajang peresmian ekplorasi pertambangan biji besi di Riung (Flores Pos Kamis 1 Juli 2010). Secara verbal, isu terbantahkan. Tapi secara substansial, tidak. Sebab, kalau bukan peresmian, itu ajang apa? Perdamaian? Tidak juga. Itu ajang konsolidasi, langkah menuju peresmian, suatu ketika.
Karena itu ajang konsolidasi pendukung tambang, maka wajar, sah, bahkan perlu barisan tolak tambang konsolidasikan diri. Dalam konteks inilah, pada hari yang sama di tempat berbeda, warga Desa Latung menggelar Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang. Jelas, ini tandingan terhadap “rambu rangke”.
Secara moral, yang dilakukan warga Desa Latung itu terhormat. Mereka jujur. Ajang itu mereka namakan lugas: Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang. Mereka tidak berkamuflase. Mereka tidak bikin “rambu rangke” yang bukan “rambu rangke”. Mereka tidak memperalat apalagi memperkosa ritus adat adiluhung demi memenuhi dahaga politik kekuasaan elite kabupaten. Mereka tidak rela “rambu rangke” direndahkan dari tuntunan menjadi sekadar tontonan .
Riung semestinya bersyukur punya kelompok kecil masyarakat seperti ini. Ketika daerah sudah dipimpin para oportunis, sejarah toh masih memberi peluang. Dan peluang itu ada pada mereka yang disebut “disiden”. Mereka habitus kecil yang masih berpikir rasional dan sedang berusaha mengorganisasi diri. Daya tahan mereka harus didukung. Di sinilah peran Gereja, JPIC, LSM, dan lain-lain elemen civil society.
Berharap pada wakil rakyat? Dalam kasus di atas, harapan itu sirna. Pada Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang di Desa Latung, tak satu pun anggota DPRD hadir. Sebaliknya pada “rambu rangke” di Riung. Ketua DPRD hadir dan bawakan sambutan. Isinya sama dengan sambutan bupati. Sama-sama membantah sebuah isu. Koq sama, ya? Akur banget!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 6 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar