Ketika Satpol PP Merazia PNS
Oleh Frans Anggal
Satpol PP Flotim lakukan operasi lapangan 18-21 Juni 2010. Hasilnya: 20 PNS ditangkap karena kedapatan berkeliaran pada jam kantor. Nama mereka dikirim kepada bupati untuk dikenai sanksi (Flores Pos Selasa 29 Juni 2010).
“Tidak dapat dibenarkan PNS berjalan-jalan bebas pada jam kantor,” kata Kasat Pol PP Agus Ola. “Ke depan, Satpol PP terus lakukan operasi untuk menindak oknum PNS yang berleha-leha di tempat-tempat umum pada jam kantor. PNS harus disiplin.”
Bahwa PNS harus disiplin, ya. Apakah disiplinnya harus dengan aksi polisional ala Satpol PP Flotim, masih bisa diperdebatkan. Pada banyak kasus, hasilnya terbalik. Bukan disiplin, tapi kemunafikan. Kisah selanjutnya mirip film kartun “Tom and Jerry”. Pol PP mengejar, PNS menghindar. Itu sudah terjadi di Flotim.
Pada operasi 18-21 Juni, beberapa PNS lolos. “Ada yang lari meninggalkan barang belanjaan. Ada pula yang cepat-cepat naik ojek tanpa tujuan jelas,” kata Agus Ola. Kalau pada setiap operasi, kisahnya sama, lengkap dengan adegan “Tom and Jerry”-nya, tentu ada yang tidak beres pada birokrasi di Flotim.
Mengingat negeri ini negeri pegawai, ketidakberesan pada birokrasi di Flotim bukanlah ‘monopoli’ Flotim. Ini sudah jadi ‘penyakit umum’ republik pegawai, republik birokrasi gemuk. ‘Penyakit’ ini berkaitan dengan apa yang oleh sosiolog Peter L Berger dinamakan “perujukan”, yang merupakan kategori kunci birokrasi.
Dalam kehidupan birokrat yang tipikal, kata Berger, tiada hari berlalu tanpa ucapan berkali-kali sang birokrat: ‘Saya tidak kompeten menangani perkara ini’. Dampaknya: sebuah urusan harus dirujukkan kepada yang berkompeten. Itu baru satu jenis urusan. Kalau jenisnya banyak? Kompetensi yang dibutuhkan harus banyak. Jumlah birokrat berkompetennya harus bertambah. Birokasi yang tipikal selalu tergoda menggemukakan diri. Stafnya tumpah-ruah.
Sejauh pembagian dan penjalanan tugasnya jelas, tegas, rinci, dan terkontrol, birokrasi gemuk justru memperlancar, mempermudah, dan mempercepat semua urusan. Sebaliknyalah kalau pembagian dan penjalanan tugasnya tidak jelas, tidak tegas, tidak rinci, dan tidak terkontrol. Birokrasi gemuk hanya akan melahirkan pengangguran tidak kentara. Stafnya masuk kerja, tapi tidak bekerja. Kalaupun mau berkerja, tak ada yang mendesak untuk dikerjakan. Bengong.
Kalau begitu keadaannya, pikiran nakal bisa muncul. “Ngapain duduk bengong di kantor? Mendingan belanja di pasar inpres, pusat pertokoan, dan pelabuhan laut. Lagi pula, kepala kantor tidak kontrol tuh. Kalaupun Pol PP lakukan razia, tinggal kita lincah-lincah saja ber-‘Tom and Jerry’. Lama-lama Pol PP capek sendiri. Mereka juga seperti kita, lakukan tugas karena diperintah atasan.”
Dengan pikiran nakal ini, kita hendak garis bawahi satu hal. Aksi polisional Satpol PP saja tidaklah cukup untuk mendisiplinkan PNS. Kuncinya bukan pada Satpol PP, tapi pada setiap kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kalau setiap kepala SKPD disiplin, Satpol PP tidak perlu capek-capek ber-‘Tom and Jerry’ dengan PNS di tempat-tempat umum.
Lagi pula, aksi polisional itu hanya ditujukan kepada pegawai kecil. Padahal, tidak sedikit pegawai besar yang keluyuran ke luar daerah pakai uang negara dengan nama mulia “perjalanan dinas”. Perginya habiskan duit, pulangnya tidak bawa apa-apa. Aksi polisional itu pun hanya meneguhkan standar ganda. Kalau bos sering keluar, itu namanya rajin lobi dana. Tapi kalau staf sering keluar, itu namanya tukang pesiar: tangkap! Maka, Satpol PP pun gesit menangkap. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar