Kasus Pembunuhan di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Tim Polda NTT menangkap tiga tersangka kasus pembunuhan Nurdin bin Yusuf di Kabupaten Sikka. Ketiga tersangka diterbangkan menuju Kupang, Selasa 29 Juni 2010. “Ada sejumlah bukti awal yang cukup, di mana patut diduga bahwa ketiga tersangka bertanggung jawab atas kematian Nurdin bin Yusuf,” kata ketua tim Darius Riwu (Flores Pos Rabu 30 Juni 2010).
Langkah polda ini membalikkan simpulan Polres Sikka. Versi polres: Nurdin tewas karena lakalantas tunggal di Wailiti 20 Juni 2009. Keluarga korban tidak percaya. Banyak kejanggalan. Rangkaian bukti dan keterangan saksi cokok dengan hasil autopsi ahli forensik Mun’im Idries pada Kamis 4 Maret 2010. Keluarga yakin, Nurdin tewas dibunuh.
Keluarga pun berjuang agar penanganan diambil alih Mabes Polri. Tidak sia-sia. Polda NTT turun tangan. Tiga tersangka ditangkap. Tidak diserahkan ke polres, tapi dibawa ke polda. Ini sudah cukup untuk menunjukkan, polres tidak dipercaya, tidak hanya oleh keluarga Nurdin tapi juga oleh hierarkinya sendiri. Konsekuensinya, tidak dipercaya juga oleh masyarakat.
Dalam dua tahun terakhir, ini kasus ketiga di Flores-Lembata di mana citra polres begitu terpuruk. Penyebabnya polres sendiri. Di Ngada begitu, dalam kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Di Lembata begitu, dalam kasus kematian Yoakim Langoday. Di Sikka pun begitu, dalam kasus kematian Nurdin bin Yusuf. Narasinya sama. Penanganan diambil alih polda, kapolres diganti, baru beres.
Seandainya polda tidak turun tangan, kita tidak tahu Flores-Lembata akan jadi apa. Jadi ladang pembantaian manusia. Sebab, dari ketiga preseden di atas terkesan, bunuh orang itu gampang. Selanjutnya bagaimana, itu juga gampang. Mudah diatur. Tinggal pilih, mau simpulan yang mana. Mati wajar? Lakalantas tunggal? Bunuh diri? Flores-Lembata jadi pasar tumpah darah.
Dengan cara seperti ini, seseorang bisa tewas berkali-kali. Nurdin, misalnya. Pertama, dia tewas di medan empirik, pada kejadian yang sebenarnya. Kedua, dia tewas atau lebih tepat ditewaskan di medan wacana. Cara tewas di medan wacana pun variatif. Tewas dibunuh, versi keluarga. Tewas karena lakalantas tunggal, versi polres. Mana yang benar? Jawabannya bisa melahirkan wacana baru, yang berarti cara tewas baru pula. Jadinya, Nurdin tewas berkali-kali!
Proses hukum yang benar tidak dimaksudkan menghindari berbagai jenis penewasan itu. Penewasan berkali-kali tak terhindarkan. Ini risiko pewacanaan, apakah itu sejarah, berita acara, berita media, atau desas-desus. Setiap orang mati, begitulah nasibnya. Mati berkali-kali. Tidak terkecuali bagi pahlawan. Setiap pahlawan tewas dua kali. Pertama, di medan perang. Kedua, di medan makna.
Karena menghindari berbagai jenis penewasan itu tidak mungkin, tugas penegak hukum adalah memilah dan memilih, berdasarakan barang bukti, keterangan, dan petunjuk, mana penewasan yang paling identik atau paling dekat dengan penewasan di medan empirik pada kejadian yang sebenarnya.
Langkah inilah yang sedang ditempuh Polda NTT. Langkah pencarian kebenaran dan penegakan keadilan. Langkah yang sebelumnya justru tidak ditempuh Polres Sikka, yang memurukkan citranya sendiri dan meruntuhkan kepercayaannya di mata masyarakat.
Ini jelas tamparan keras buat Polres Sikka. Juga buat polres lain di Flores-Lembata. Tapi, serentak jadi harapan cerah bagi keluarga Nurdin dan masyarakat pencinta kehidupan, keadilan, dan kedamaian. Masyarakat tidak ingin tanah tumpah darahnya menjadi pasar tumpah darah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 1 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar