Kasus Dugaan Korupsi Pakaian Linmas di Sikka
Oleh Frans Anggal
Istri tersangka Emanuel Hurint mengatakan suaminya tidak sesen pun makan uang. Yang bertanggung jawab di balik dugaan korupsi pakaian linmas Rp309 juta adalah bupati dan sekda, saat itu dijabat Alexander Longginus dan Sabinus Nabu. ”Suami saya sebagai kasat pol PP waktu itu bekerja di bawah tekanan ... selalu diintervensi oknum-oknum pejabat” (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010).
Hingga kini, Longginus dan Nabu belum tersentuh. Juga, kontraktornya. Sementara lima anggota pantitia sedang diproses. Mereka belum di-tersangka-kan dan ditahan. Tingggallah Emanuel Hurint seorang diri. Ia tumbal mafia korupsi di Sikka, kata Ketua TPDI NTT Meridian Dewanta Dado dan anggota JPIC Keuskupan Maumere Jacob Herin (Flores Pos Selasa 27 Juli 2010).
Tumbal lahir dari dunia mistik. Sesuatu atau seseorang yang diserahkan atau dijadikan korban guna menyelamatkan pihak lain dari sial atau murka dewa. Yang biasa ditumbalkan adalah yang dianggap kecil. Misalnya, anak-anak, perempuan, hamba, hewan. Sebaliknya, jelas, yang menumbalkan adalah pihak yang merasa diri atau dianggap besar. Maka, menumbal selalu berarti mengorbankan (pihak) yang kecil demi menyelamatkan (pihak) yang besar.
Dalam kasus pakaian linmas---merujuk penilaian Dado dan Herin---, siapa yang ditumbalkan, jelas: Emanuel Hurint. Siapa yang menumbalkan, dan demi menyelamatkan siapakah, itu yang tidak diungkapkan lugas. Dado dan Herin hanya menyebut konteksnya: Hurint (di)jadi(kan) tumbal mafia korupsi di Sikka.
Meski secara tekstual tidak lugas, secara kontekstual cukup jelas. Hurint ditumbalkan demi menyelamatkan pihak lebih besar. Saat kasus terjadi, Hurint ’hanyalah’ kadis. Ia abdi dari bupati dan sekda, yang kala itu dijabat Longginus dan Nabu. Maka, kalau konsisten dengan logika penumbalan, semestinya Dado dan Herin bilang saja: Hurint ditumbalkan demi selamatkan Longginus dan Nabu.
Benar demikian? Longginus yang kini wakil ketua DPRD Sikka dan Nabu yang kini ketua yayasan perguruan tinggi Nusa Nipa pasti membantah. Dari tanggapannya, Longginus merasa diri tidak perlu diselamatkan. Dan karena itu, tidak perlu ada penumbalan. Ia merasa sudah pada posisi selamat. ”Kepada polisi saya katakan, tanggung jawab saya dalam hal kebijakan saja. Apa ada kebijakan yang dikorup?” (Flores Pos Sabtu 24 Juli 2010).
Dengan kata lain, apa yang menimpa Hurint hanyalah konsekuensi logis penegakan hukum terhadap perbuatannya sendiri sebagai pelaksana teknis kebijakan bupati. Longginus menganggap kebijakannya sudah benar. Pelaksanaan teknisnya yang mungkin salah. Bahkan ia menganggap semua kebijakan pasti benar. Simak pertanyaan retorisnya: ”Apa ada kebijakan yang dikorup?”
Kalau pertanyaan itu harus dijawab, kita tegas katakan: ada! Kebijakan apa pun berpeluang korup dan dikorup! Kata ”korup” berasal dari kata Inggris: corrupt. Kata Inggris ini berasal dari kata Latin: corruptus. Ini kata benda yang dibentuk dari kata kerja: corrumpere. Kata kerja ini dibentuk dari dua akar kata: com- (bersama-sama) dan rumpere (rusak). Jadi: rusaknya bersama-sama. Rusaknya rame-rame. Dari kepala sampe kaki. Dari kebijakan hingga pelaksanaan teknis.
Pada kasus pakaian linmas, rusaknya juga begitu. Dari kebijakannya sampai pelaksanaan teknisnya. Kalau begitu, kenapa hanya si pelaksana teknis Emanuel Hurint yang di-tersangka-kan dan ditahan? Kenapa tidak si pembuat kebijakan Alexander Longginus dan Sabinus Nabu? Ada apa, Polres Sikka?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 28 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar