18 Juli 2010

San Adji Bukan Sutardji

Kajari Maumere dan Penanganan Kasus Korupsi

Oleh Frans Anggal

Kajari Maumere San Adji berjanji siap tangani belasan kasus korupsi lama di Kabupaten Sikka, yang terendap atau tak tertangani pendahulunya. Delapan bulan di Sikka, ia sudah tangani empat kasus. Tantangannya: kasusnya banyak, jaksa aktif hanya tiga orang.

”Dalam konteks ini,” kata San Adji, ”jaksa bisa dibenarkan ’pilih tebang’ dalam tangani kasus, bukan ’tebang pilih’.” Artinya: penanganan kasus harus pakai skala prioritas. Dahulukan yang sudah miliki bukti cukup dan berdampak besar rugikan keuangan negara (Flores Pos Jumat 16 Juli 2010).

Boleh juga kajari ini. Berakrobatik istilah. Tebang pilih, no! Pilih tebang, yes! Ia tidak jelaskan secara linguistik perbedaan maknanya. Tebang pilih: tebang dulu baru pilih? Pilih tebang: pilih dulu baru tebang? Tebang pilih: tebangnya pake pilih? Pilih tebang: pilihnya pake tebang? Membingungkan!

Karena bukan ahli bahasa, San Aji tak terbebani. Ia gunakan dua istilah itu dengan pemaknaan baru. Sah-sah saja. Sebab, makna kata tidak selamanya berasal dari dalam bahasa. Bisa juga dari luar bahasa: dari kekuasaan, konvensi sosial, atau norma moral. Dari kekuasaan, contoh: istilah ”kontak senjata” TNI vs GAM pada kematian Tengku Bantaqiah, Jumat 23 Juli 1999.

Istilah ini aneh, menurut Eryanto (”Militerisasi Kosakata”, Pantau, Oktober-November 1999). Seolah-olah TNI dan GAM berhadap-hadapan. Versi TNI, peristiwa itu didahului pertempuran. Kalau benar begitu, koq tak satu pun korban dari TNI. ”Alangkah hebatnya militer Indonesia, menghadapi pengikut Bantaqiah yang jumlahnya ratusan dan hidup dalam lembah Beutong Ateuh yang sukar dicapai, bisa memenangkan (pertempuran) dengan mudah. Artinya, dari segi linguistik, pemakaian istilah ini (kontak senjata) sangat aneh.”

Dalam pandangan penyair Sutardji Calzoum Bachri, pemaknaan kata seperti itu adalah bentuk penindasan dan kolonisasi. Karena itu, ia lancarkan credo membebaskan kata dari kungkungan makna. Dan puisi merupakan kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna.

Mengapresiasi puisi Sutardji yang gelap, cendekiawan Ignas Kleden menyampaikan pidato kebudayaan yang menyingkap tabir itu pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007: “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri”.

“Jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an,” kata Ignas Kleden, “Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.

“Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih autentik melalui puisi.”

Itu tentang Sutardji. Sekarang tentang San Adji. Kajari Maumere. Ia tidak sedang mendekonstruksi bahasa ketika menyukai ’pilih tebang’ ketimbang ’tebang pilih’. Ia hanya sedang berakrobatik istilah. Bagi masyarakat, itu tidak penting. Yang penting, tepati janji! Tangani tuntas semua kasus korupsi lama! Kalau tidak? Akrobatik itu hanya kedok kemunafikan: aku bersembunyi di belakang kata, dan menenggelamkan diri tanpa sisa (puisi Subagio Sastrowardojo).

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 17 Juli 2010

Tidak ada komentar: