Belum Berdaya Transformatif
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai bangga. Dua tahun berturut-turut, warganya dapat Kalpataru Tingkat Provinsi NTT. Tahun 2009, penghargaan bidang lingkungan hidup ini diterima Robert Gaguk, warga Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong. Tahun 2010, diterima John Go, warga kelurahan yang sama.
“Ini membanggakan. Sudah dua tahun ini Manggarai mendapat penghargaan bidang lingkungan hidup. Kita salut dengan warga yang berjuang untuk memanfaatkan lahan kritis dan gundul. Apa yang dilakukan itu perlu ditiru oleh yang lainnya,” kata Apri Laturake, Kabag Humas Protokol Setda Manggarai (Flores Pos Selasa 6 Juli 2010).
Bangga atas prestasi warga. Salut terhadap karya warga. Berharap warga lainnya meniru. Semua itu wajar keluar dari mulut aparatur negara. Namun, itu saja tidak cukup. Apalagi kalau hanya sampai di situ. Bangga, salut, dan berharap itu tidak akan menghasilkan perubahan signifikan kalau pelestarian lingkungan hidup tetap hanya menjadi kepedulian segelintir warga dan belum menjadi komitmen serius pemkab.
Dua tahun berturut-turut warga Manggarai mendapat kalpataru provinsi. Ini sudah cukup untuk dijadikan sekadar kebanggaan pemkab. Sudah saatnya pemkab merasa ditampar. Sebab, prestasi warga ini muncul ketika pemkab sudah jor-joran ‘mengizinkan’ lingkungan hidup dirusakkan oleh pertambangan terbuka. Karya konstruktif warga muncul di tengah karya desktruktif pemkab.
Kalau terhadap karya konstruktif warganya pemkab bangga, semestinya terhadap karya destruktifnya sendiri pemkab malu. Prestasi warga itu harus menjadi tamparan baginya. Menjadi momentum titik balik. Momentum ini tidak boleh lepas. Sekali lepas, ia berlalu. Dan kalau ia berlalu, kebanggan tadi tidak ada nilainya lagi. Karena, tidak berdaya transformatif.
Tampaknya, “bencana” ini tidak khas Manggarai. Ini sudah menjadi “bencana” nasional Indonesia. Negeri kita sudah mengalami banyak peristiwa besar. Namun, semua peristiwa besar itu seakan tidak meninggalkan apa pun. Tidak mengubah apa pun. Tidak berdaya transformatif.
Di tingkat gagasan, misalnya. Kita mengalami perubahan besar tahun 1965. Tapi kita tidak menghasilkan traktat politik sebagaimana yang dikenal dalam sejarah pemikiran politik Eropa seperti yang ditunjukkan Locke, Hume, Rousseau, dll. Kita mengalami peristiwa besar sekali lagi tahun 1998, tapi tidak muncul traktat yang bisa dijadikan tonggak sejarah pedoman arah.
Jadinya, setiap peristiwa penting di negeri ini berlalu seakan, tanpa meninggalkan sisa apa pun. Seakan kita tidak pernah diuji habis-habisan pada periode mana pun. Kita tidak pernah mencapai titik balik. Kita adalah “negeri yang tak pernah sampai”, istilah filosof Rocky Gerung. "Seperti model berjalan di atas catwalk, kita hanya melangkah dari belakang ke depan, balik lagi, tidak berputar, tidak mengubah titik keseimbangan penonton."
Kalau pada peristiwa besar saja perubahan kita hanya begitu-begitu, bagaimana bisa diharapkan kita mencapai titik balik transformatif pada peristiwa kecil seperti anugerah kapaltaru tingkat provinsi? Yah, paling-paling seperti yang terjadi di Manggarai itu.
Dua tahun berturut-turut warga Manggarai dapat kalpataru provinsi. Pemkab bangga, salut, dan berharap warga lainnya meniru . Namun, hanya sampai di situ, titik. Lingkungan hidup tetap terancam. Tambang terbuka, sang monster, tetap mendengus, mengeruk, dan meremukkan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 7 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar