05 Juli 2010

Luka Sang Perempuan

Kasus Pemerkosaan di Ngada dan Nagekeo

Oleh Frans Anggal

Polisi di wilayah yurisdiksi Polres Ngada sedang menangani tiga kasus permerkosaan. Di Bajawa, seorang siswi SMP diperkosa pamannya di rumah sang paman. Di Poma, dalam perjalanan menuju Riung, seorang remaja 17 tahun diperkosa pengemudi sepeda motor. Di Boawae, seorang siswi SMA nyaris diperkosa tukang ojek di rumahnya sendiri (Flores Pos Jumat 2 Juli 2010).

Pemerkosaan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Waktu, tempat, dan pelakunya bisa berlainan. Namun korbannya tetap sama: perempuan. Kisahnya pun setua peradaban manusia. Karena itu, tidak salah, pemerkosaan adalah luka perempuan sepanjang zaman. Luka psikologis. Luka peradaban.

Karena korbannya selalu perempuan, pemerkosaan tidak cukup hanya dilihat sebagai masalah seks. Sebab utamanya bukanlah seks, tapi ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Rape is not about sex. It’s about power! Pada pemerkosaan, si pelaku---sang lelaki---melihat korban---sang perempuan---sebagai mangsa yang tak akan melawan. Ini yang membedakan pemerkosaan dari kasus kriminal lain.

Ketimpangan relasi kuasa itu semakin menajam dalam konflik horizontal, rusuh massal, dan perang. Seksualitas perempuan itu simbol penerus bangsa. Rahim perempuan itu pusat reproduksi biologis, sosial, dan politik. Mati hidupnya suatu keluarga, kelompok, etnis, dan bangsa tergantung dari proses reproduksi perempuan. Maka, seksualitas perempuan dijadikan bagian dari pertempuran.

"Di berbagai wilayah konflik bersenjata seperti Bosnia Herzegovina dan Kroasia, Rwanda, dan lain-lain, pemerkosaan digunakan sebagai alat pembersihan etnis," tulis Alexandra Stiglmayer (1997). "Pemerkosaan di wilayah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai insiden dari agresi militer, tetapi justru merupakan taktik atau strategi agresi.” Yang terjadi di Indonesia juga sama. Di Aceh, Timor Timur, Papua, dan Jakarta pada rusuh Mei 1998.

Baik di masa perang maupun di masa damai---seperti dalam tiga kasus pemerkosaan di Ngada itu---luka yang diderita perempuan tetaplah sama. Luka psikologis. Luka peradaban. Sayang, luka ini sering tidak dapat dilihat oleh hukum. Hukum lazim berhenti hanya pada sisi kriminalitasnya. Hukum sering buta terhadap derita dan kehancuran perempuan.

Memaksa hukum melihatnya pun percuma. Karena itu, terhadap luka sang perempuan, hukum tidak bisa menjadi obat penyembuh yang manjur (ultimum remedium). Sebab, pemerkosaan tidak sekadar kriminlaitas biasa. Ia adalah depersonalisasi absolut terhadap tubuh, martabat, dan otonomi diri. Sang perempuan dipaksa berpisah dari eksistensinya.

Bahkan, lebih daripada itu. Demikian filosof Rocky Gerung dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Imparsial di Jakarta beberapa tahun lalu. Pemerkosaan adalah penanaman kebengisan dalam kesucian diri. Traumanya membekas sepanjang hidup. Perempuan pun menjadi asing dengan dirinya sendiri. Sebab, ia harus hidup bersama sang musuh yang bersarang dalam dirinya dan akan mengganggunya terus-menerus.

Inilah juga yang membedakan pemerkosaan dari kasus kriminal lain. Karena itu, kasus pemerkosaan apa pun, termasuk tiga kasus di Ngada itu, tidak boleh ditangani main-main. Aparat penegak hukum harus benar-benar menegakkan keadilan. Sebab, meski tidak dapat menyembuhkannya, hanya keadilan dan pendampinganlah yang bisa mengurangi perih pedihnya luka itu.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 3 Juli 2010

Tidak ada komentar: