09 Juli 2010

Diutus ke Tengah Dunia

Muspas VI Keuskupan Agung Ende

Oleh Frans Anggal

Musyawarah Pastoral (Muspas) VI Keuskupan Agung Ende (KAE) dibuka Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota dalam perayaan ekaristi di Paroki Mautapaga, Selasa 6 Juli 2010. Baik ekaristi pembukaan maupun muspas mengangkat tema “Aku Mengutus Kamu ke Tengah Dunia” (Yohanes 20:21).

Uskup Sensi bangga atas berbagai kemajuan dalam hidup berkomunitas basis. Namun, ia ingatkan juga, masih banyak rencana aksi yang belum cukup digerakkan. Masih banyak masalah. Kemiskinan, HAM, politik, dan lingkungan hidup. “Kita dipanggil menjawabi situasi tersebut, sehingga Gereja menjadi tanda keselamatan bagi semua orang,” katanya (Flores Pos Rabu 7 Juli 2010).

Diutus ke tengah dunia. Dan dunia itu penuh masalah. Maka, tugas perutusan: mengatasi berbagai masalah di dunia. Hanya dengan itu, ada keselamatan. Hanya dengan itu, Gereja bisa menjadi tandanya. Teolog E. Schillebeeckx tepat. Extra mundum nulla salus. ‘Di luar dunia tidak ada keselamatan’.

Kalau keselamatan hanya ada di dalam dunia, dan hanya di dalamnyalah Gereja menjadi tanda keselamatan, maka paradigma yang tepat adalah paradigma kosmis-holistik, bukan sekular-mekanistik. Kenyataan di dunia mesti dilihat sebagai yang menyatu dengan Yang Ilahi, dan didekati secara utuh dalam kesatuan dengan Yang Ilahi.

Sebagai yang menyatu dengan Yang Ilahi, alam merupakan sacramentum (tanda) dari kehadiran Yang Ilahi, bukan sekadar instrumentum (sarana) untuk menyembah Yang Ilahi. Karena itu, dalam puisi kosmiknya “Gita Sang Surya”, Santo Fransiskus Asisi menyapa alam sebagai “saudara”. Yang disebut “komunitas” pun bukan hanya himpunan manusia, tapi seluruh alam ciptaan.

Sayangnya, dalam praksis pembangunan dunia, paradigma kosmis-holistik ini belum menggeser paradigma sekular-mekanistik. Contoh paling tipikal, pertambangan terbuka (open mining), yang tahun terakhir gencar masuk Flores-Lembata. Tambang emas di Lembata dan Mabar. Tambang mangan di Manggarai dan Matim. Tambang biji besi di Ngada.

Tambang terbuka itu monster. Merusak lingkungan. Dipulihkan sekalipun, kondisi lingkungan tidak bisa utuh seperti sediakala. Dua jurnalis Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, Farid Gaban dan Ahmad Yunus, melaporkan: di Buyat-Sulawesi, bekas lokasi tambang emas memang dipulihkan, ditanami pohon. Namun, yang bisa dihijaukan hanya kawasan sekitar lubang-lubang menganga, yang dalam dan lebarnya seperti Danau Kelimutu! Lubang itu tetap lubang, dan hanya bisa ditutupi dengan membuat lubang baru!

Apakah masyarakat lingkar tambang sejahtera seperti dijanjikan pengusaha dan penguasa? Dua jurnalis itu bersaksi: itu hanya mitos. Tapi mitos itu jugalah yang kini ditaburkan para bupati di Flores-Lembata. Tentangnya, tambang mangan di Manggarai dan Matim sudah bercerita banyak. Karenanya, Komnas HAM menyurati menteri, gubernur, dan bupati (Flores Pos Rabu 7 Juli 2010).

Inilah salah satu masalah di tengah dunia itu. Tempat Gereja diutus. Tempat Gereja ditugasi. Tempat Gereja dipanggil menjadi tanda keselamatan bagi semua orang. Ini pulalah masalah di wilayah KAE. Masalah yang menuntut jawaban.

Melalui tema dan agendanya, Muspas VI KAE memberi harapan. Terhadap tambang terbuka, Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 2009 dengan tegas menyatakan sikap menolak. Mudah-mudahan Muspas VI KAE pun begitu. Bila perlu lebih daripada itu. Tidak hanya bersikap, tapi bertindak.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 8 Juli 2010

Tidak ada komentar: