Orang-Orang Kecil di Dalam Berita
Oleh Frans Anggal
Warga Nangarawa, Desa Bamo, Kecamatan Kotakomba, Kabupaten Manggarai Timur, menggelar ritus adat tunu manuk untuk menolak masuknya pertambangan di wilayah itu. Ritus dikukuhkan dengan ekaristi. Selanjutnya warga ramai-ramai menanam 5.000-an anakan pohon bakau, waru, dan beringin sepanjang sempadan pantai Nangarawa.
Berita ini dilansir Flores Pos edisi Kamis 8 Juli 2010. Di halaman depan. Di bawah judul “Gelar Ritus Tolak Tambang”. Dalam hierarki halaman depan, berita ini bukan berita utama (headline). Ia ‘cuma’ berita ketiga dari lima berita yang diturunkan. Itu pilihan redaksi. Bagaimana pilihan pembaca?
“Bagi saya, yang paling menarik justru berita tolak tambang ini,” kata Janet Steele, profesor jurnalisme dari George Washington University, pada diskusi media di Grand Wisata Hotel, Ende, Kamis 8 Juli 2010. Diskusi ini diselenggarakan Konsulat Jenderal Amerika Serikat Surabaya.
Kenapa justru berita tolak tambang itu yang menarik di mata Janet Steele? Berita itu berita tentang orang kecil yang menghadapi persoalan besar. Ia lalu mengkritik pers di Indonesia. “Terlalu banyak berita tentang pejabat. Padahal, banyak hal tentang orang kecil yang menarik, tapi jarang ditulis.”
Catatannya ini menjadi salah satu poin dari sembilan elemen jurnalisme yang dibahasnya. Berita harus komprehensif dan proporsional. Jurnalis perlu pertimbangkan kepentingan semua warga, tidak hanya pejabat negara. Lebih daripada itu, utamakan kepentingan orang kecil. Menjadi ‘suara bagi kaum tak bersuara’. Sekaligus, memantau kaum yang berkuasa.
Di tempat lain, pada hari yang sama, berlangsung kegiatan lain. Di aula Paroki Mautapaga, berlangsung Musyawarah Pastoral (Muspas) VI Keuskupan Agung Ende. Berbeda tempat dan kegiatan, namun sama dalam keprihatinan. Baik diskusi media maupun muspas prihatian akan nasib orang-orang kecil. Jurnalisme menyebutnya “warga”, muspas menyebutnya “umat”.
Ini “perjumpaan” yang luar biasa. Janet Steele jauh-jauh datang dari Amerika Serikat. Ia bawa nilai-nilai jurnalisme dalam sebuah diskusi media, yang ternyata sama dengan nilai-nilai yang sudah, sedang, dan akan terus diperjuangkan Gereja. Media massa dan Gereja seakan “berjumpa” dalam “liturgi kehidupan”. Sama-sama berjuang bagi orang-orang kecil, miskin, lemah, terpinggirkan.
Pada berita tentang ritus adat tolak tambang, warga Nangarawa itu orang-orang kecil. Lingkungan hidup mereka terancam oleh rencana pertambangan. Kalau lingkungan hidup rusak, orang-orang kecil inilah yang pertama-tama jadi korban. Mereka tidak punya alternatif lain untuk hidup. Bagi mereka, lingkungan (ekologi) benar-benar oikos dalam makna aslinya (Yunani), yakni “ruang hidup” atau “ruang tempat tinggal”.
Nasib orang-orang kecil inilah yang dibela para imam Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, dan OFM Indonesia. Tidak hanya lewat pernyataan sikap, tapi aksi nyata. Berada di tengah umat, berkarya bersama umat. Dipersatukan dalam ritus adat, ekaristi, dan aksi penghijauan. Iman dalam liturgi hati, dan pengharapan dalam liturgi gereja, memuncak pada cinta kasih dalam liturgi kehidupan. Tepat kata teolog A. Pieris (1999). Love is Action. Cinta Kasih adalah Tindakan.
Nasib orang-orang kecil ini jugalah yang diperhatikan Flores Pos, sehingga beritanya ditempatkan di halaman depan. Berita ini ternyata menarik di mata Janet Steele. Justru karena berita ini berita tentang orang-orang kecil. Orang kecil menjadi titik perjumpaan yang luar biasa antara Gereja dan jurnalisme!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 9 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar