Arah Dasar Pastoral Keuskupan Egung Ende
Oleh Frans Anggal
Musyawarah Pastoral (Mupas) VI Keuskupan Agung Ende 6-11 Juli 2010 berakhir. Muspas telah merumuskan arah dasar pastoral lima tahun ke depan. Yaitu: pastoral pembebasan dan pemberdayaan komunitas umat basis yang transformatif dan misioner (Flores Pos Senin 12 Juli 2010).
Dengan arah dasar itu, berikut visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi, muspas telah menghasilkan sebuah agenda pastoral. Agenda pastoral transformatif. Mungkin ’mudah’ dirumuskan dalam sepekan muspas, namun tentu diakui ’tidak gampang’ dilaksanakan hanya dalam lima tahun. Transformasi, apa pun itu, tidak enteng.
Transformasi selalu membutuhkan sesuatu yang disebut titik balik. Dalam sejarah berbagai bidang kehidupan, titik balik sering tidak tercapai justru ketika momen transformasi di depan mata. Momen sebagai ‘waktu berahmat’ itu pun berlalu begitu saja. Tidak sungguh-sungguh dimanfaatkan, karena belum siap. Belum solid. Transisinya masih penuh negosiasi. Yang dicita-citakan agar terjadi, akhirnya tidak terjadi.
Satu contoh, dalam sejarah modern Indonesia. Masa pengujung Orde Baru dan awal Reformasi, 1998, merupakan ‘waktu berahmat’ bagi transformasi struktural dan fundamental demokrasi di Indonesia. Sayangnya, justru ketika momen itu muncul, kaum oposisi belum sungguh-sungguh solid. Titik balik tidak sungguh-sungguh tergapai. Transformasi kehilangan momentum. Tinggal hanya reformasi.
‘Tragedi’ sejarah ini diakui cendekiawan Goenawan Mohamad. “Soeharto jatuh terlalu cepat,” katanya kepada Janet Steele dalam buku Wars Within (2007). “Jika dia bertahan lebih lama, kami mungkin bisa mendapat infrastruktur demokrasi yang lebih baik. Tapi ia pergi terlalu mudah, terlalu cepat, dan kini kami tinggal dengan kekuatan oposisi yang kacau. Dan kecewa. Saya kira kekecewaan selalu muncul setelah semua revolusi.”
Titik balik tidak tercapai, sebenarnya bukan karena Soeharto jatuh terlalu cepat. Tapi, karena oposisi belum terlalu solid. Kekuatannya masih kacau. Tidak sedikit pula yang oposisinya mediocre, setengah-setengah, suam-suam kuku. Mereka tidak benar-benar terlibat. Tidak benar-benar merasa diuji habis-habisan.
Menurut pandangan filosof Rocky Gerung, ada semacam struktur mediocracy yang terbawa dari periode sebelumnya, masuk ke periode reformasi. Ini yang mengakibatkan, kita tidak mendapatkan pelajaran di titik mana sebenarnya kita bilang kita sudah berhenti dari masyarakat lama ke masyarakat baru. Karena, yang terjadi semacam transisi yang penuh negosiasi.
Rocky Gerung menganalogkan apa yang terjadi itu dengan lenggang-lenggok tebar pesona peraga busana. Seperti model berjalan di atas catwalk, kita hanya melangkah dari belakang ke depan, balik lagi. Tidak berputar. Tidak mengubah titik keseimbangan penonton.
Dengan kata lain, tidak terjadi transformasi. Paling banter, reformasi. Bahkan mungkin hanya transfigurasi: pergantian wajah penguasa. Maka, struktur mediocracy pun langgeng. Wajah berganti wajah, dan hanya wajah. Itulah politik pencitraan saat ini. Konstituen pun enggan membongkar struktur di balik wajah pemimpinnya. Entah karena terseret ke dunia citra dalam gelombang masif konsumtivisme, atau karena tak tahu perannya sebagai warga negara.
Begitulah. Tranformasi tidak mudah. Butuh titik balik. Demikian pula dengan transformasi yang dicanangkan muspas. Mudah-mudahan muspas itu sendiri sudah menjadi momentumnya. Dan di dalamnya titik baik itu sudah dimulai.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 13 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar