Dugaan Illegal Fishing
Oleh Frans Anggal
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Flotim menahan 51 ikan tuna 2 ton di PPI Amagarapati, Rabu 14 Juli 2010. Ikan didaratkan KM Mas 5 dan siap diangkut ke tempat pengewetan di Weri. Diduga, ikan tersebut hasil pengeboman. Untuk memastikannya, sampel segera dikirim ke laboratorium perikanan di Maumere (Flores Pos Kamis 15 Juli 2010).
”Kalau terbukti kapal ini menampung ikan hasil bom, maka izin penampungan dicabut dan pihak terkait diproses secara yuridis,” kata Sekretaris DKP Flotim Nor Lanjong Kornelis. Ia merujuk pada Perusahaan Penampung Anindo, dengan penanggung jawab Ramlan Adrani dan petugas Syarif.
Hasil uji lab akan menentukan proses selanjutnya. Kalau hasilnya negatif, masalahnya selesai. Kalau hasilnya positif, prosesnya dilanjutkan. Dan kalau Nor Lanjong Kornelis tepat janji, izin Anindo dicabut. Ramlan dkk diproses hukum.
Dugaan awal DKP, bahwa ikan itu hasil pengeboman, ada dasarnya. Pertama, sirip dan ekornya buntung. Kedua, informasi dari nelayan: terjadi pengeboman di perairan Lamalera. Ketiga, informasi dari Iwan Uran pemilik KM Flotim 26. Ia pernah diajak Ramlan untuk menampung ikan hasil bom, tapi ia tolak.
Yang menarik, cara Ramlan mengajak Iwan. Kata Ramlan, kegiatan penampungan ikan hasil bom ini ada bekingnya. Terlepas dari benar tidaknya penuturan Iwan, kita yakin beking itu ada kalau benar itu kegiatan penampungan ikan illegal fishing. Setiap kriminalitas yang datangkan uang secara mudah, berlimpah, dan terus-menerus pasti ada bekingnya. Perjudian, peredaran narkoba, dan penyelundupan merupakan contoh yang sudah lama dikenal.
Kalau judi kupon putih marak dan tak bisa dihilangkan---padahal mudah saja kalau mau diberantas---publik langsung tahu, pasti ada bekingnya. Yaitu, pihak yang punya kuasa untuk memberantas, tapi tidak memberantas, karena ikut menikmati hasilnya. Pada penampungan ikan illegal fishing pun demikian. Apalagi kalau itu datangkan uang secara mudah, berlimpah, dan terus-menerus.
Pada kriminalitas tingkat tinggi, apalagi. Tanpa beking, kejahatan yang merugikan keuangan negara secara mudah, besar-besaran, dan terus-menerus tidaklah mungkin terjadi. Contoh aktual untuk Indonesia adalah kejahatan perbankan dan perpajakan. Sedemikan dahsyatnya kejahatan ini, sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ‘harus’ mengundurkan diri.
Dalam kuliah umumnya di UI, 18 Mei 2010, ia menyebutnya “perkawinan kepentingan”, untuk mengelak istilah yang justru lebih tepat: kartel. “Saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apa pun yang saya putuskan sebagai pejabat publik, tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik. Di mana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata.”
Dalam kartel, politik diatur hanya oleh dua tiga orang. Maka, pejuang demokrasi, yang menuntut partisipasi publik, harus dikalahkan. Dalam kartel, kriminalitas pun diatur hanya oleh dua tiga orang. Maka, penegak hukum, yang menuntut persamaan perlakukan bagi semua orang, harus dilemahkan. Caranya hanya dua. Disogok atau dibunuh.
Kartel di Indonesia sudah mirip Kartel Medellin Kolombia. Kartel mengatur semua skenario. Anggotanya orang yang punya jabatan publik. Mereka pintar bersandiwara. Tubuh politiknya kelihatan. Tapi yang mereka lakukan tetap tersembunyi.
Apakah di balik ikan tuna Flotim, ceritanya juga seperti itu? Terlalu pagi untuk menilai. Kisahnya masih berlanjut. Maka, kita tunggu dan lihat.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 16 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar