Tunggakan Pengembalian Rp1,5 Miliar
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 22 dari 55 anggota DPRD NTT 2004-2009 menunggak pengembalian dana tunjangan komunikasi intensif (TKI). Dari total Rp5,4 miliar, baru Rp3,8 miliar yang sudah dikembalikan. Tinggal Rp1,5 miliar. Turut menunggak, tiga anggota yang sudah meninggal (Flores Pos Senin 19 Juli 2010).
Batas akhir pengembalian sudah lewat. Semestinya ada sanksi. Kenyataannya, tidak. Pemprov pun tidak pasang target. Pemprov hanya tagih dan tagih. Kapan selesainya, tidak jelas. Maka, cepat atau lambat sama saja. Cepat ya syukur. Lambat tidak apa-apa. Kalau penunggak meninggal, itu cuma sial. Namanya sial, utangnya tinggal diputihkan, titik.
Mulanya DPRD tidak salah. Mereka tidak minta itu dana. Pemerintah yang kasih. Kebijakan pemerintah. Namun, kebijakan itu diprotes rakyat. Pemerintah maju terus. Dan, DPRD terima. Mereka tidak tolak. Ini kesalahan pertama. Dalam perjalanan, kebijakan itu dinilai salah. Dana harus dikembalikan. Namun tidak semua DPRD tepat waktu. Ini kesalahan kedua.
DPRD bisa berkata: kami tidak minta koq dikasih, sudah dikasih koq diambil lagi. Benar. Faktanya begitu. Namun fakta ini tidak bisa dijadikan dalih tidak mengembalikan dana atau menunda-nunda pengembalian dana. Sebab, yang faktual terjadi itu salah. Menyimpang. Sudah diluruskan. Semestinya DPRD jejeki jalan lurus itu. Tidak ngotot tapaki jalan bengkok.
Tapaki jalan bengkok tampaknya tidak hanya pada kasus dana TKI. Pada perkara ’normal’ pun, berbengkok jalan sepertinya sudah kebiasaan DPRD. Dalam hal kendaraan dinas, misalnya. Masih ada yang berlagak tidak tahu bedakan antara hak pakai dan hak milik. Di Manggarai, misalnya, mobil pimpinan dan sepeda motor anggota DPRD 2004-2009 dikembalikan telat. Ditagih berkali-kali baru dipulangkan. Itu pun dengan susah payah.
Mengingat kebiasaan buruk itu, kita patut pertanyakan: bagaimana nasib uang negara bila dipinjamkan kepada wakil rakyat untuk beli mobil pribadi? Yang ini, lagi-lagi, di NTT. Lagi-lagi, DPRD NTT. Dana APBD 2009/2010 siap dipinjamkan kepada 55 anggota DPRD NTT untuk membeli mobil pribadi. Masing-masing Rp200 juta. Pengembaliannya pakai cicil, dengan memotong gaji Rp5 juta per bulan, selama 48 bulan (Flores Pos Jumat 21 Mei 2010).
Kalau DPRD NTT 2004-2009 bermasalah dalam pengembalian dana TKI, bukan tidak mungkin---mengingat kebiasaan buruk tadi---DPRD NTT 2009-2014 akan bermasalah dalam kredit kepemilikan mobil pribadi. Tapi, boleh jadi juga tidak. Cicilan lantar dan tuntas. Apakah dengan demikian, tidak ada masalah lagi? DPRD NTT 2009-2014 bebas dari kesalahan?
Sama sekali tidak! Sebagaimana DPRD 2004-2009, demikian pula DPRD 2009-2014. Dua-duanya salah. Yang pertama salah karena pasivitasnya: menerima (tidak menolak) dana TKI yang diambil dari APBD. Yang kedua salah karena aktivitasnya: (ingin) meminjam dana APBD.
Kesalahan mereka pun mengenai hal yang sama: APBD. APBD dikeroposi sampai miliaran rupiah. Dengan pengeroposan sebesar itu, semakin berkurang pula bahkan hilang peluang pemenuhan hak-hak dasar rakyat melalui anggaran.
Dalam berdalih, DPRD gunakan pertimbangan yuridis: ada nomenklaturnya, dll. Mereka abaikan pertimbangan etis: keadilan. Mungkin karena terawangan mereka tidak tembus etika. Mungkin karena mereka hanya dikarbitkan, tidak dikaderkan oleh partai. Mungkin karena partainya bukan partai kader, tapi cuma partai kador (bahasa Manggarai: nakal). Partai yang didirikan hanya karena uang dan demi uang. Mungkin!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 20 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar