22 Juli 2010

Pecat: Tepat Tapi Telat

Pemecatan Anggota KPU Flotim

Oleh Frans Anggal

Empat dari lima anggota KPU Flores Timur (Flotim) 2008-2013 dipecat karena terbukti bersalah melanggar kode etik penyelenggaraan pemilukada Flotim 2010. Satu dari kelimanya luput karena tidak terlibat dan tidak termasuk dalam pengaduan masyarakat. Putusan diambil Dewan Kehormatan dalam sidang di KPU NTT di Kupang, Selasa 20 Juli 2010 (Flores Pos Rabu 21 Juli 2010).

Putusan tepat. Tapi, telat. Tiga bulan berlalu sejak April saat pelanggaran kode etik (mulai) terjadi, barulah putusan muncul. Seandainya KPU NTT lebih cerdas, berani, dan tegas, keterlambatan tidak perlu terjadi. Pemilukada Flotim mungkin sudah berlanjut dan tidak mentok terus seperti sekarang.

Sejak awal, persoalannya jelas. Pihak yang melanggar jelas. Bentuk pelanggaran jelas. Sanksi yang patut diberikan jelas. Lalu, kenapa KPU NTT gamang bersikap? Banyak faktor, bisa jadi. Namun, yang cukup kasat mata: secara internal KPU NTT tidak segera lakukan konfrontasi etik atas pelanggaran KPU Flotim. Sepertinya menunggu dan melihat dulu opini publik.

Ini sikap berbahaya. Opini publik belum tentu representasikan kebenaran. Yang pasti ia representasikan kepentingan para pihak. Ruangannya ruang konfrontasi kepentingan mereka. Di dalamnya, yang benar belum tentu menang. Malah bisa sebaliknya. Kalaupun menang, itu kemudian, setelah semuanya terlambat. Contohnya, pada kasus bank Century yang korbankan Sri Mulyani Indrawati.

Sri Mulyani mundur dari menteri keuangan. Saat itu, barulah opini publik yang sebelumnya mencercanya berbalik bersimpati. Pembalikan terjadi karena konfrontasi etik. Publik terbuka matanya melihat kontras moral antara Sri Mulyani yang tegar seorang diri, tanpa kekuasaan, tanpa jabatan di satu sisi, dan SBY + Aburizal Barkrie di sisi lain yang dinilai berlebihan mengumpulkan kekuasaan melalui Koalisi Besar.

Ini contoh, opini publik itu ruang pertarungan kepentingan. Bukan pertama-tama lokasi representasi kebenaran. Kebenaran tidak harus dicari dalam riuh rendah pendapat publik. Tidak harus ditemukan dalam silang sengketa para pengamat. Kebenaran bisa disua dalam keheningan internal, melalui konfrontasi internal.

Dalam kasus KPU Flotim, konfrontasi etik internal itulah yang tidak segera dilakukan KPU NTT. Padahal, semuanya sudah jelas: apa persoalannya, siapa pelanggarnya, apa pelanggarannya, apa sanksi etisnya, bagaimana bentuk penyelesaiannya, dst. Tidak ada alasan untuk tidak segera mengambil sikap dan tindakan. Sayang, itu tidak terjadi. KPU NTT menggulirkan dulu kasus ini sebagai opini publik, lalu tunggu dan lihat, baru bersikap dan bertindak.

Secara politik, yang dilakukan KPU NTT bisa dimengerti. Semua kekuasaan politik membutuhkan opini publik. Eksekutif dan legislatif memerlukannya untuk membenarkan kebijakannya. Kasus bank Century hanya salah satu dari banyak contoh. Singkat kata, opini publik merupakan wilayah strategis memenangkan berbagai kepentingan, demi mengolah legitimasi, representasi, dan hegemoni.

Itu secara politik. Secara etis, opini publik tidak selalu dapat dibenarkan. Selain hampir selalu ada pihak yang dikorbankan, kebenaran itu sendiri dibunuh. Dalam opini publik kasus bank Century, Sri Mulyani jadi korbannya. Padahal---tapi baru ketahuan kemudian---ini ‘skandal dua orang laki-laki’ yang saling menagih utang-piutang politik 2004-2009, dengan mengorbankan ‘seorang perempuan’, dan---akibat opini publik---masyarakat senang dengan pengorbanan itu.

Mudah-mudahan, ini jadi pembelajaran bagi KPU NTT. Juga bagai KPU lain.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 22 Juli 2010

Tidak ada komentar: