Memeriksa Terperiksa hingga Larut Malam
Oleh Frans Anggal
Keluarga almarhum Marianus Siga Ta’a, bendaharawan Kantor Satpol PP Kabupaten Nagekeo, sesalkan sikap BPK. Badan ini memeriksa Marianus tanpa perikemanusiaan. Dalam keadaan sakit, Marianus diperiksa, maraton. Ia tak sadarkan diri. Dan akhirnya meninggal dunia (Flores Pos Jumat 9 Juli 2010).
Marianus diperiksa di kantor bupati sejak Rabu siang 13 Juli 2010 pukul 11.00 hingga Kamis dinihari 14 Juli pukul 02.00. Selama 15 jam. Dinihari pukul 01.00 ia mengeluh sakit. Ia minta pulang. Tapi BPK tidak izinkan. Dua jam usai pemeriksaan, pukul 04.00, di rumahnya, ia tidak sadarkan diri. Dilarikan ke RS di Maumere. Minggu 4 Juli ia meninggal dunia.
Meninggal “karena” diperiksa BPK? Itu spekulatif! Meninggal “setelah” diperiksa BPK? Itu pasti! Penyebab kematiannya bukan BPK. Bukan pula kasus, yang diduga sebagai alasan ia diperiksa maraton. Seperti kata keluarga ---tentu berdasarkan keterangan rumah sakit---Marianus meninggal karena hipertensi.
Yang ditudingkan kepada BPK adalah perlakuan yang tidak manusiawi itu, terlepas dari apakah perlakukan itu (turut) menyebabkan kematian Marianus atau tidak. Jadi, kalaupun Marianus tidak meninggal sesudah diperiksa, perlakukan BPK tetap tidak dapat dibenarkan. Bahkan, kalaupun Marianus sehat walafiat sesudahnya.
Pemeriksaan maraton sampai larut malam. Ini apa-apaan? Apakah Nagekeo segera bubar kalau cara keji ini tidak ditempuh? Kenapa tidak dengan cara biasa-biasa saja: periksa pada jam dinas. Ada apa dengan BPK sampai harus seperti makhluk aneh? Seolah-olah alien, mereka datang dari planet lain, bekerja di bumi manusia, pada jam yang menyimpang dari kebiasaan manusia.
Rupanya, dengan cara alien, BPK terkesan kuat, berwibawa. Apalagi kalau terperiksa bisa dibuat gemetar, berkeringat, pucat, bahkan pingsan. Hebat toh itu? Kalau benar demikian, disayangkan. Ini pencitraan diri yang sesat. Asyik dengan kulit, lupa akan isi.
BPK yang kuat dan berwibawa tidak perlu seperti itu. Periksa pada jam dinas saja sudah cukup. Yang penting, metodologinya tepat, persiapannya matang, dan pemeriksanya cerdas. Hanya dengan itu, pemeriksaan bisa cepat dan tepat. Memeriksa secara manusiwi, santun, dan berperikemanusiaan pun akan tetap buahkan hasil maksimal. Tidak perlu ‘siksa’ orang sampai larut malam.
Dari caranya memeriksa Marianus Siga Ta’a, BPK tidak benar-benar siap. Tepatlah penilaian keluarga Marianus. BPK sepertinya tidak punya jadwal jelas. “Apa maksud panggil orang malam-malam dan diperiksa?” tanya Pergerinus Siga Ta’a. Tepat pula pernyataan Bupati Nani Aoh. Ia dukung pemeriksaan BPK, namun waktunya itu. “Saya kecewa, pemeriksaan sampai jauh malam, dan ini dikeluhkan oleh staf saya.”
Selain merugikan terperiksa, cara kerja ala alien merusak reputasi BPK sendiri. Jauh dari citra kuat dan berwibawa, cara kerja model ini justru menunjukkan BPK lemah dan tidak berwibawa. Rupanya, karena metodologinya tidak tepat, persiapannya tidak matang, dan pemeriksanya kurang cerdas, maka---sebagai kompensasi menutupi kelemhan itu---pemeriksaannya dibikin betele-tele, menyiksa orang sampai larut malam.
Kalau benar kuat dan berwibawa, tentu BPK bisa memeriksa dengan cepat dan tepat. Sebab, real power does not hit hard, but straight to the point, kata sebuah ungkapan. ‘Kekuatan yang sesungguhnya tidak memukul keras, tapi tepat sasaran’.
“Bentara” FLORES POS, Senin 12 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar