Parpol Menjadi Lebih Baik?
Oleh Frans Anggal
Pemkab Nagekeo menganggarkan dana pembinaan parpol tahun 2010 sebesar Rp319 juta lebih. Dana tersebut diberikan kepada parpol yang mempunyai kursi di DPRD Nagekeo. Besarannya sesuai dengan jumlah kursi di DPRD, dari Rp9 juta sampai Rp54 juta (Flores Pos Selasa 13 Juli 2010).
Membaca berita tersebut, Om Toki pada ”Senggol” Flores Pos Rabu 14 Juli 2010 nyeletuk: ”O ya? Pemkab jadi pembina parpol.” Ini jelas olok-olokan terhadap istilah ”pembinaan”. Istilah warisan Orde Baru, yang memang gemar ”membina” parpol dengan berbagai cara, dari yang wajar sampai yang kurang ajar.
Di era Reformasi, istilah itu dicurigai. Maka, diganti dengan istilah lain: ”bantuan keuangan”, mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2009 serta penjabarannya dalam Peraturan Mendagri Nomor 24 Tahun 2009. Kalau masih keseleo lidah menyebutnya ”dana pembinaan”, harap maklum, maksudnya jauh dari pretensi Orde Baru. Pemerintah tidak bernafsu lagi membina parpol. Parpol sendirilah yang membina dirinya. Istilah kerennya: pendidikan politik.
Karena yang dipakai parpol itu uang negara, warga negara berhak untuk tahu: apakah benar uang itu digunakan untuk pendidikan politik? Kalau ya, mana hasilnya? Kalau hasilnya seperti yang sekarang, kita kecewa. Gunakan uang negara, parpol koq tidak jadi semakin baik. Ada dana pendidikan politik, tapi tak ada kaderisasi. Tidak ada kurikulum tentang etika publik (public ethics). Tidak ada kurikulum tentang kewargaan (citizenship).
Ini bisa dilihat dari sepak terjang anggota legislatif, yang adalah kader parpol. Contoh bagus tentang hal buruk ini: DPRD Provinsi NTT. Bersekutu dengan pemprov, mereka sahkan: dana APBD 2009/2010 miliaran rupiah siap dipinjamkan kepada 55 anggota dewan, untuk beli mobil pribadi. Sebagai dalih, ketua DPRD gunakan argumentasi yuridis dan ekonomis. Bahwa, meminjamkan uang APBD kepada anggota dewan tidak menyalahi aturan. Dan, ini menguntungkan pemerintah.
Tak ada argumentasi etis di sana. Publik dicoret. Warga negara diabaikan. Rakyat disingkirkan. Padahal, mereka itu wakil rakyat. Yang terjadi: ketika rakyat yang mereka wakili sekarat dalam kemiskinan, gizi buruk, dan busung lapar, mereka pakai uang rakyat untuk beli mobil pribadi. Etika publik, etika kewargaan diinjak habis-habisan.
Kader seperti inikah yang dihasilkan parpol? Kader, yang sepertinya tidak dikaderkan. Tidak diberi pendidikan politik. Karbitan. Tidak heran, mereka tidak mengenal etika publik. Tidak mengenal etika kewargaan. Karena memang tak ada kurikulum pendidikan untuk itu dalam parpolnya. Kalau begitu, ke mana semua uang negara berlabel ”dana pendidikan politik”? Wallahualam.
Terkesan, yang diincar bukan “pendidikan politik”-nya, tapi “dana”-nya. Duit dijadikan dasar dan tujuan. Maka, jangan kaget, parpol bisa diperjualbelikan. Dan, jangan kaget pula kalau ada tokoh yang bikin “peternakan parpol”. Jelang pemilu ia dirikan beberapa parpol. Nanti kalau sudah tidak produktif lagi sebagai mesin uang, parpol itu ia jual kepada “peternak” lain.
Kalau parpol sudah begini, kadernya di legislatif pun akan begitu. Mereka semakin finansial ketimbang profesional. Tidak bisa berpikir kalau tidak ada duit. Dalam kondisi seperti ini, bantuan keuangan hanya membuat mereka ‘memiliki lebih banyak’ (having more), tanpa ‘menjadi lebih baik’ (being better).
Di Nagekeo, tahun 2010, bantuan itu mencapai Rp319 juta lebih. Jumlah yang tidak kecil untuk sebuah daerah berekonomi lemah lembut. Apakah bantuan ini membuat parpol dan legislatif Nagekeo menjadi lebih baik? Ataukah sekadar menjadi lebih kaya? Rakyat Nagekeo berhak untuk menilai dan menggugat.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 15 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar