Institusi Bebas Korupsi di NTT
Oleh Frans Anggal
Kejari Ruteng, institusi bebas korupsi di NTT tahun 2010. Penilaian ditetapkan Kejati NTT. Penilaian berlangsung 2009-2010. Kejari Ruteng raih nilai tertinggi. Administrasi keuangannya bagus. Tidak ada pengaduan masyarakat tentang kinerjanya di bidang keuangan negara (Flores Pos Kamis 29 Juli 2010).
Ini prestasi. Patut dibanggakan. Namun, kata ”bangga” justru tidak diucapkan, baik oleh Kajari Timbul Tamba maupun oleh stafnya Hutagaol. Timbul Tamba: ”Bagi kami, penetapan itu bukti kinerja kita mendapat perhatian dari institusi lebih tinggi. Kita bekerja bukan untuk dapat penghargaan. Tapi, kinerja kita ternyata mendapat penilaian positif.”
Hutagaol: ”Bagi kita, ini tantangan untuk terus bekerja keras. Bekerja sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku. Korupsi adalah prioritas penanganan di negeri ini. Maka, kita di dalam juga harus bekerja dengan baik dan tidak lakukan hal-hal seperti (korupsi) itu.”
Di mata Timbul Tamba, prestasi itu bukti adanya apresiasi dari institusi lebih tinggi. Ia bangga, bukan atas prestasi yang diraihnya, tapi atas perhatian yang diberikan kejatinya. Ini tampak aneh. Tapi, begitulah orang Indonesia. Malu-malu kucing. Susah untuk lugas berbangga. Biarlah orang lain yang memuji, bukan diri sendiri. Itu namanya sopan.
Malu-malu kucing juga tampak pada Hutagaol. Ia tidak nyatakan raihan itu sebagai prestasi, tapi sebagai tantangan. Apakah ia tidak bangga? Pasti bangga. Namun, sebagai orang Indonesia tulen---seperti atasannya Timbul Tamba---ia merasa tidak patut mengungkapkan kebanggaan itu secara jujur. Lain di hati, lain di bibir. Itu namanya sopan.
Kalau Timbul Tamba dan Hutagaol malu-malu kucing, kita tidak. Kita lugas-lugas unggas. Kita buang kesopanan yang tidak jujur. Kita junjung kejujuran yang sopan. Jangan demi sopan, lalu tidak jujur. Jangan pula demi jujur, lalu tidak sopan. Jujur dan sopan, dua-duanya sekali jalan, kenapa tidak.
Karena itu---secara jujur dan sopan---kita katakan: raihan Kejari Ruteng sungguh sebuah prestasi. Prestasi itu patut dibanggakan. Dan prestasi yang patut dibanggakan itu layak untuk Kejari Ruteng. Khususnya selama dipimpin Timbul Tamba. Namanya saja seolah ’bertuah’. Begitu Timbul Tamba ”timbul” di Ruteng, kejari dapat nilai ”tambah”. Prestasinya ber-tambah. Jumlah kasus korupsi yang ditangani tuntas ber-tambah. Jumlah koruptor yang masuk penjara ber-tambah. Kecemasan dan kecermatan pejabat ber-tambah. Dst. Ini rahmat!
Rahmat ini datang ketika kejari lain mengecewakan. Cuma tahu tampung kasus. Seolah-olah kejari itu bank kasus. Ada pula yang ’mengerikan’. Kejari dijadikan perternakan. Kasus dipelihara, diparon, untuk diperah susunya. Si peternak pergi, peternak lain datang, silih berganti. Mereka memerah dari susu yang sama. Maka, begitu banyak kasus berulang tahun berkali-kali di kejari.
Tidak semuanya begitu, tentu. Tetap ada kekecualian. Namun jumlahnya sedikit. Khusus di Flores, selain Kejari Ruteng yang sudah terbukti berprestasi, yang gelagatnya mulai bagus adalah Kejari Maumere di bawah San Adji. Ia bertekad tuntaskan semua kasus korupsi yang tidak terselesaikan pendahulunya. Dari belasan yang selama ini diternakkan, San Adji mulai beresakan satu per satu.
Bisakah Kejari Maumere berprestasi seperti Kejari Ruteng? Bisa, asalkan konsisten. Bisakah kejari lain seperti itu? Bisa, asalkan ’bertobat’. Kembali ke fitrah: menjadi jaksa, bukan peternak.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 30 Juli 2010
1 komentar:
Tidak ada keluhan masyarakat, atau tidak mendengarkan keluhan masyarakat? Selamat!
Posting Komentar