Tolak Tambang di Wilayah NTT
Oleh Frans Anggal
Para tokoh lintas agama menolak tambang di NTT. Sikap mereka tertuang dalam ”pernyataan sikap” 10 Juli 2010, hasil pertemuan Jatap-Ecocob di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Pernyataan ini mereka kirim ke berbagai lembaga, terutama pemerintah, dari pusat sampai daerah (Flores Pos Senin 19 Juli 2010).
Mereka berangkat dari kenyataan empirik. Dari yang sudah terjadi. Juga dari yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di lokasi tambang. Hilangnya nyawa akibat longsoran. Munculnya aneka penyakit akibat pencemaran udara dan air. Rusaknya lingkungan. Dampak lainnya pasti terjadi. Sangat mengkhawatirkan.
Mereka pun berseru: hentikan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di NTT. Hentikan pemberian izin pertambangan. Bebaskan wilayah NTT dari pertambangan yang merusak kehidupan manusia dan alam. Kembangkan serius sumber hidup berkelanjutan: pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, dan industri kecil.
Hebat! Respon para tokoh lintas agama lebih cepat ketimbang respon institusi agama mereka masing-masing. Bisa dimengerti. Mereka ’orang lepas’, bukan ’orang struktural institusional’. Sebagai ’ orang lepas’, mereka tidak mengidap ’penyakit’ yang umumnya ’diderita’ struktur institusi. Yaitu, kelembaman struktur (inertia of the structure).
Fisika mengenal hukum kelembaman materi. Materi yang diam akan terus diam jika tidak digerakkan. Materi yang bergerak akan terus bergerak jika tidak didiamkan. Struktur institusi, termasuk struktur agama, hierarki gereja, dll, juga begitu. Coba cek, sudah berapa gereja keuskupan di NTT yang nyatakan tolak tambang? Sejauh diberitakan Flores Pos, baru satu. Gereja Keuskupan Ruteng.
Sikap tolak tambang diambil Keuskupan Ruteng dalam sidang pastoral Paska 2009. Momen Paska dipilih. Tepat. Inilah Paska sesungguhnya. Paska, yang tidak hanya individual, tapi juga apostolis. Yang tidak hanya liturgis, tapi juga etis. Yang tidak hanya sakramental, tapi juga kontekstual. Sebuah Paska ekologis. Keuskupan Ruteng sudah mencapai titik itu. Sebuah titik balik.
Titik balik adalah prasyarat semua transformasi. Tanpa transformasi, tak ada perubahan kualitatif. Contohnya, ’tragedi’ Indonesia 1998. Ketika Soeharto jatuh, kita sepakat men-download demokrasi. Pertanyaan saat itu: save-as ke mana? Revolusi atau reformasi? Kita save-as ke reformasi, padahal kebutuhan riil saat itu revolusi agar terjadi perubahan kualitatif kultur politik. Sayang, kita pilih reformasi. Menurut filosof Rocky Gerung, reformasi secara mental sebetulnya lembek. “Itu yang menyebabkan hari-hari ini kita sebetulnya masih separuh berada di rumah Orde Baru” (www.perspektifbaru.com/Edisi 744 /27 Jun 2010).
Yang terjadi pada Indonesia 1998 bisa terjadi pada semua lembaga non-negara. Termasuk, lembaga agama, lembaga gereja, dll. Gagal mencapai titik balik. Gagal melakukan transformasi. Gagal melahirkan perubahan kualitiatif. Penyebabnya, ’penyakit’ itu tadi: kelembaman struktur. Pada kasus Indonesia, bahkan ketika si kepala struktur (Soeharto) sudah terpenggal, strukturnya tetap bertahan, lembam, dan karena itu Indonesia saat ini masih setengah Orde Baru.
Pertambangan. Juga punya struktur. Raksasa. Trans-nasional. Ia pun mengidap ’penyakit’ yang sama: kelembaman. Monster lingkungan hidup ini tidak bisa dilawan dengan sikap lembek, setengah-setengah, suam-suam kuku. Apalagi dengan sikap tanpa sikap. Pada titik ini, respon para tokoh lintas agama kita puji. Eksplisit, tegas, jelas. Mereka lebih tanggap ketimbang institusi agamanya masing-masing.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 21 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar