Kasek Dilarang Jadi Pimpro
Oleh Frans Anggal
Bupati Sikka Sosimus Mitang bikin kebijakan baru. Pada 2010 para kepala sekoah (kasek) dilarang kelola proyek fisik sekolah. Pengelolaan diberikan kepada kontraktor melalui mekanisme biasa (Flores Pos Sabtu 19 Juni 2010).
Ada dasarnya. Dari evaluasi dan temuan diketahui, gara-gara kelola proyek, kasek terlantarkan tupoksinya. Ini salah satu faktor rendahnya persentase kelulusan ujian nasional (UN). “Di saat kasek tidak ada di tempat, para guru cepat pulang atau tidak serius menyelanggarakan KBM. Anak-anak sendiri tidak diperhatikan, sehingga prestasi belajar pun menurun drastis.”
Titik tolak kebijakan ini, anjloknya persetase kelulusan UN. Seandainya persentasenya bagus, kebijakan ini tidak bakal muncul. Karena titik tolaknya menurun drastisnya persentase kelulusan, maka titik tujunya tentu saja meningkatnya persentase itu. Kalau peningkatannya signifikan, pelarangan tadi pasti dicabut. Kasek boleh kembali mengelola proyek.
Titik tolak dan titik tuju seperti ini perlu dicermati. Kasek mana yang tidak suka kelola proyek pemerintah? Duitnya banyak. Peluang memperkaya diri terbuka lebar. Caranya bisa macam-macam. Tinggal saja pintar-pintar, agar tidak terbongkar. Kalau sampai terbongkar, itu sial namanya. Dari pengalaman, banyak yang aman. Alias, rezeki. Kasek mana yang tidak suka rezeki ini?
Demi kembalinya rezeki itulah, yang selama ini diperoleh melalui proyek, para kasek akan tikam kepala menaikkan persentase kelulusan UN. Bagaimana caranya nanti, itu soal teknis, soal pintar-pintar itu tadi. Jujur atau curang, murni atau kotor, tidak penting. Yang penting, persentase naik. Sebab, hanya dengan demikian, kasek bisa kembali mengelola proyek.
Inikah yang diinginkan Bupati Sosi? Tentu tidak. Namun, itulah yang rasional bisa terjadi kalau titik tolak dan titik tuju kebijakannya hanya sebatas persentase kelulusan UN. K ebijakan melarang kasek mengelola proyek itu tepat. Namun, janganlah hanya karena dan demi UN. Non scholae, sed vitae discimus, kata Seneca, filosof dan pujangga Romawi (4 SM - 65 M). Kita belajar bukan untuk sekolah, bukan untuk ujian, tapi untuk hidup.
Kasek profesional dan jujur pasti tidak akan mengatakan tupoksi dan kompetensinya enteng. Ia mengemban sedertan tugas sebagai pendidik, pemimpin, pengelola (manajer), administrator, penyelia (supervisior), wirausahawan, dan pencipta iklim kerja. Berkenaan dengan tupoksi itu, daripadanya dituntut sedertan kompetensi yang sepadan. Kalau dijalankan dengan sungguh-sungguh, semuanya itu sudah bisa bikin kepalanya mau pecah.
Maka, tidak masuk akal kalau dia masih berminat mengemban tupoksi tambahan sebagai “kasek sak semen”: menjadi pimpro atau pengelola proyek fisik sekolah dan sarana lain yang didanai keuangan negara. Kalau sampai ada kasek yang berminat ke sana dengan semangat berapi-api, itu pertanda dia sudah melihat ada udang di balik batu. Ada uang di balik proyek.
Sudah terlalu banyak kasus korupsi yang menyeret kasek menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana. Gara-gara kelola proyek. Tak terbilang pula keluhan bahwa kasek abaikan tupoksi dan kompetensinya hanya karena sibuk urus proyek. Kasus di Sikka itu satu contoh. Saat kasek tidak ada di tempat karena sibuk dengan proyek, para guru cepat pulang atau tidak serius selanggarakan KBM. Anak-anak jugalah yang akhirnya dikorbankan.
Pilihan terbaik: kasek ya kasek. Tanpa “sak semen”. Selain buruk dampaknya, “sak semen” bukanlah tupoksi dan kompetensi kasek. Itu kompetensi kontraktor. The right man on the right place. Orang yang tepat pada tempat yang tepat. Jangan dicampur aduk. Jangan pula dipertukarkan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 22 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar