17 Juni 2010

Belajar dari Syuradikara

Raih Trofi Sekolah Adywiyata Nasional 2010

Oleh Frans Anggal

SMAK Syuradikara Ende raih trofi Sekolah Adywiyata Nasional. Ia satu dari 67 sekolah se-Indonesia, dan satu-satunya dari NTT. Trofi diterima kepala sekolah Pater Kanis Bhila SVD di Jakarta 7-8 Juni 2010 dari Menteri Lingkungan Hidup. Setiba di bandara Ende, trofi disambut pemkab, sebelum diarak keliling kota menuju sekolah (Flores Pos Selasa 15 Juni 2010).

Ini peningkatan prestasi. Tahun lalu, piagam. Tahun ini, trofi. Selangkah lagi, sekolah milik SVD ini jadi Sekolah Adywiyata Mandiri. Trofi emas. Diterima langsung dari presiden. Mimpi?

Bagi Syuradikara, ini bukan mimpi, tapi impian. Tidak mustahil diraih. Pertama, SVD sebagai pemilik punya komitmen menegakkan keutuhan ciptaan. Kedua, cinta lingkungan sudah mentradisi di Syuradikara. Ketiga, kepala sekolah saat ini Pater Kanis Bila SVD ‘pejuang’ lingkungan hidup. Keempat, di bawah kepemimpinannya, adywiyata diintegrasikan dalam kurikulum sekolah.

Jadi, Syuradikara sudah punya visi, misi, program, dan strategi jelas yang terwujud dalam portofolio. Adywiyata bukan sekadar improvisasi, apalagi keisengan kepala sekolah. Dengan portofolio, adywiyata tidak hanya mengubah lingkungan fisik-biologis sekolah, tapi membentuk mental-spiritual peserta didik.

Ini yang membedakan Syuradikara dari sekolah lain di NTT. Ini pula yang menyebabkan, dari NTT hanya Syuradikara yang meraih trofi. Pada banyak sekolah lain, urusan begini identik dengan minat kepala sekolah. Kalau dia pencinta lingkungan hidup, sekolah rindang-hijau. Begitu dia pergi, rindang-hijau ikut pergi. Betul-betul improvisasi.

Di Syuradikara tidak begitu. Adywiyata sudah di-portofolio-kan. Visi, misi, program, dan strateginya telah diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Maka, siapa pun kepala sekolah, adywiyata akan tetap dikembangkan. Adapun kepala sekolah saat ini ‘hanyalah’ penggebrak, perintis, pioner.

Apa yang dilakukan Syuradikara patut dijadikan model bagi sekolah lain. Kalau sekolah lain kurang tanggap, tugas pemerintahlah, dalam hal ini dinas pendidikan, memberi dorongan. Kenapa tidak, Syuradikara dijadikan model di Kabupaten Ende. Perlu didukung nyata dengan dana, dll. Setelah Gerakan Seribu Bunga, Syuradikara canangkan Tahun Sejuta Pohon. Melalui dinas kehutanan, pemkab bisa sumbangkan anakan pohon. Kenapa tidak.

Tidak hanya bagi sekolah lain. Bagi pemkab sedniri, Syuradikara bisa jadi model. Terutama kalau mau kota Ende dapat Adipura. Belajar dari Syuradikara jauh lebih mudah, murah, dan cepat ketimbang stuba ke kota lain yang banyak pura-puranya. Tim penilai datang, kota bersih. Tim penilai pulang, bersih hilang. Seperti di Maumere. Adipura diberikan ketika kota itu masih identik dengan sampah, babi keluar masuk toko, dll (Flores Pos Senin 14 Juni 2010).

Yang terjadi di Maumere dalam meraih piala Adipura berbeda dengan yang terjadi di Syuradikara dalam mendapat trofi Sekolah Adywiyata Nasional. Di Maumere, tim penilai pulang, kota kembali berserakan sampah. Di Syuradikara, tim penilai pulang, sekolah tetap ramah lingkungan. Ini menunjukkan apa?

Di Maumere, piala Adipura itu prestise. Di Syuradikara, trofi Sekolah Wiyata Nasional itu prestasi. Di Maumere, peduli lingkungan itu improvisasi. Di Syuradikara, peduli lingkungan itu konsistensi. Karena, visi, misi, program, dan strateginya telah jadi bagian integral kurikulum sekolah.

Tantangan bagi Pemkab Ende: bagaimana mengadopsi dan memodifikasi kurikulum sekolah Syuradikara menjadi kurikulum hidup masyarakat Ende, sehingga kota mereka laik Adipura. Sebagai prestasi! Bukan prestise!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Juni 2010

Tidak ada komentar: