Sekadar Prestise, Bukan Prestasi
Oleh Frans Anggal
Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, raih Adipura 2010. Trofi diserahkan langsung Presiden SBY kepada Bupati Sosimus Mitang di Jakarta 8 Juni. Kota lain di NTT: Kalabahi, Belu, dan Kota Kupang (Flores Pos Senin 14 Juni 2010).
Bagi kebanyakan bupati, ini kebanggan. Malah prestise. Bagi Bupati Sosi, lain. Ini kejutan. Ia kaget. Trofi ini diberikan ketika Maumere, beberapa tahun terakhir, identik dengan sampah, demam berdarah, dan aneka ‘penyakit kebersihan’.
“Saya bingung, kita dapat piala Adipura. Padahal, selama ini, terlihat babi keluar masuk toko. Sampah berserakan di mana-mana. Jangan tanya kepada saya kenapa Maumere dapat piala Adipura. Tanyakan ke pihak yang memberikan penghargaan ini,” katanya.
Kita juga kaget. Tidak hanya karena Maumere dapat Adipura, tapi juga karena bupatinya kaget. Lazimnya dan umumnya, bupati dan walikota pura-pura tidak kaget. Kepada publik, mereka pasti katakan kotanya pantas raih Adipura, berkat kerja keras kita semua (maksudnya: di bawah kepemimpinan saya).
Bupati dan walikota jenis ini memandang Adipura sekadar pristise. Gejalanya tampak dari yang dilakukan menjelang dan setelah proses penilaian. Mereka sibuk benah kota ketika proses penilaian berlangsung. Begitu proses itu lewat, kota kembali ke keadaan semula. Tim penilai terkecoh. Adipura pun datang.
Adipura jadi sekadar prestise, bukan prestasi. Maka, segala cara dihalalkan. Di kota Semarang, misalnya, pedagang kaki lima pada beberapa kawasan diminta tidak berjualan selama empat hari atau selama penilaian berlangsung, 31 Maret hingga 2 April 2010 (Kompas Senin 5 April 2010). Begitu masa penilaian berlalu, para pedagang “dipersilakan” berjualan lagi.
Di Maumere? Setali tiga uang, tentu. Pada hari-hari penilaian, kota rapi, bersih. Begitu masa penilaian habis, rapi dan bersih pun habis. Yang pura-pura berlalu, yang asli muncul. Babi keluar masuk toko. Sampah berserakan. Dalam kondisi asli inilah Adipura datang. Seandainya manusia, Adipura pasti sudah lari pulang ke Jakarta. Ia merasa dibohongi. Dijadikan Adipura-pura.
Kepura-puraan di Maumere, untungnya, diimbangi kejujuran Bupati Sosi. Ia tidak menutup kepura-puraan lama dengan kepura-puraan baru. Ia berterus terang. Adipura diberikan ketika Maumere masih identik dengan sampah, babi keluar masuk toko, demam berdarah, dll. Ini ‘kecelakaan’. Masuk akal kalau ia bilang, “Jangan tanya kepada saya kenapa Maumere dapat piala Adipura. Tanyakan ke pihak yang memberikan penghargaan ini.”
Selain jujur, Bupati Sosi cerdas. Dalam ‘kecelakaan’ ini, ia beri makna baru pada Adipura. Penghargaan ini harus jadi motivasi bagi warga kota. Dengan kata lain, Maumere dapat Adipura bukan ”karena” bersih dan teduh, tapi “supaya” bersih dan teduh. Jadi, tahun ini Maumere sabet Adipura-pura, agar tahun depan dan seterusnya raih Adipura.
‘Kecelakaan’ ini bisa terjadi pula di ibu kota kabupaten lain di Flores. Untuk mencegahnya, kejujuran Bupati Sosi perlu disampaikan kepada tim penilai yang terkecoh itu. Disertai pertanyaan kepada tim itu: metode penilaian macam apa yang Anda gunakan sehingga begitu mudahnya Anda dikibuli?
Setahu kita, program Adipura dimulai sejak 1986. Jadi, usianya sudah 24 tahun. Metodenya pasti sudah oke. Kalau metodenya sudah oke maka yang tidak oke tentu personel tim penilainya. Kita yakin, mereka tahu mereka dikibuli, tapi pura-pura tidak tahu. Maka, pertanyaan selanjutnya untuk mereka: berapa rupiah Anda dibayar untuk semua kepura-puraan ini?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar