04 Juni 2010

Sikka ’Wajib’ Gizi Buruk

Seolah-olah Tidak Ada Pemerintah

Oleh Frans Anggal

Satu keluarga di Tanarawa, Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, menderita gizi buruk. Maria Mena dan bayinya, Nona, berusia 3 bulan, dirawat di RSUD Maumere. Saat hendak melahirkan, sang ibu menderita gizi buruk dan anemia. Hemoglobinnya hanya 4. Normalnya 11. Sedangkan sang bayi lahir dengan berat badan hanya 600 gram. Normalnya 2.500-3.00 gram (Flores Pos Kamis 3 Juni 2010)..

Selain Maria Mena dan bayi itu, ada pasien lainnya. Yuliana Kristiani, usia 2 tahun 7 bulan. Asal Wukak, Desa Tilang, Kecamatan Nita. Berat badannya cuma 9 kg. Normalnya 13 kg. Dua pekan sebelumnya terlansir berita mengenaskan. Satu pasien busung lapar meninggal (Flores Pos Jumat 21 Mei 2010).

Di Kabupaten Sikka, kasus gizi buruk sudah rutin. Tiap tahun ’wajib’ ada. Kalau tidak ada, mungkin bukan Kabupaten Sikka namanya. Yang dicuatkan di media, biasanya, kasus di rumah sakit. Di luar rumah sakit bukannya tidak ada. Banyak. Namun, tidak semunya terdata. Entah karena kelalaian petugas atau karena kebijakan menjadikannya ’rahasia negara’.

Kenapa berulang? Karena akarnya belum dicabut. Bidang kesehatan menyebutkan paradigma kesehatan. Penanganan gizi buruk masih berkonteks retrospektif (setelah kejadian) dengan upaya kuratif (pengobatan). Belum berkonteks prospektif (sebelum kejadian) dengan upaya preventif (pencegahan).

Itu ada benarnya. Namun bukan hanya itu. Dan bukan hanya sampai di situ. Masih ada akar lebih jauh: paradigma pembangunan. Jauh dari penyejahteraan masyarakat. Jauh dari amanat konstitusi. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 menegaskan: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara di sini pemerintah. Karena, “Pemerintah Negara Indonesia(lah) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Pembukaan UUD 1945.

Kalau paradigma pembangunan itu jauh dari penyejahteraan masyarakat, lalu penyejahteraan siapakah yang dekat padanya? Penyejahteraan penyelenggara negara! Eksekutif, legislatif, yudikatif. Tidak sulit membuktikannya. Silakan lihat yang kasat mata. Gedung pemerintah, kendaraan dinas, rumah dinas. Tidak ada yang cerminkan kondisi riil daerah. Sudah mewah di tengah kemiskinan rakyat, pengadaannya pun tidak luput dari korupsi.

Dua jurnalis, Farid Gaban dan Ahmad Yunus, yang berkeliling Indonesia menyinggahi pulau-pulau kecil terluar Nusantara, memberikan kesaksian. Di mana-mana sama. Indonesia ini kaya alamnya, miskin warganya. Makmur pejabatnya, melarat rakyatnya. Memasuki etape terakhir Espedisi Zamrud Khatulistiwa, di Ende, keduanya berkesimpulan: negeri ini negeri salah urus.

Yang kasat mata sudah begitu. Yang ’tersembunyi’, apalagi. Porsi terbesar APBD habis untuk belanja aparatur. Karena, paradigmanya tetap saja: penyejahteraan penyelenggara negara. Bukan penyejahteraan masyarakat. Contoh buruk dipertontonkan DPRD NTT. Pinjam uang APBD 2009/2010 miliaran rupiah untuk beli mobil pribadi. Beberapa dari 55 anggota dewan itu wakil dari daerah pemilihan Sikka, yang tiap tahun rakyatnya ’wajib’ gizi buruk.

Maria Mena pasien gizi buruk dari Sikka itu bertutur: kondisi dia dan bayinya seperti itu bukan karena dia tidak tahu gizi, tapi karena tidak ada makanan bergizi. Miskin. Sudah miskin, tidak diperhatikan pula oleh penyelenggara negara. ”Kami belum pernah mendapat bantuan beras miskin, beras padat karya, atau jenis bantuan lain,” katanya.

Simpulan? Ini bukan soal salah urus lagi, tapi memang tidak urus. Tidak ada pemerintah. Yang ada cuma penguasa. Maka, gizi buruk ’wajib’ tiap tahun.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Juni 2010

Tidak ada komentar: