04 Juni 2010

Kenapa Justru Nama Kapolres?

Catut Nama Minta Pulsa dan Uang

Oleh Frans Anggal

Nama Kapolres Lembata Marthen Johannis dicatut orang tak dikenal untuk minta pulsa dan uang dari anggota DPRD dan pejabat Pemkab Lembata. Pencatutan terjadi hingga Maumere, Kabupaten Sikka. Tiga tamu menginap lima hari tanpa bayar di Hotel Pelita dengan dalih tamu kapolres. Semua ini terjadi saat kapolres di luar daerah. Ia mengimbau masyarakat serta pejabat dan pengusaha tidak mudah percaya (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010).

Apa motif pencatutan nama kapolres? Kemungkinan pertama, motif ’ekonomi’. Dapat duit dengan cara mudah. Tinggal duduk manis, pencet nomor HP. Kalau yang di seberang tertipu, duit pun datang. HP dan internet telah jadi sarana ampuh, tidak hanya untuk komunikasi dan interaksi, tapi juga untuk tindak kejahatan (cyber crime).

Kemungkinan kedua, motif ’politik’. Anggota DPRD Lembata Piter Gero yakin akan hal itu. Dia sendiri calon korban. Untung, dia tidak terkecoh. Menurut Gero, ini upaya membunuh karakter dan merusak citra kapolres. Solanya, sang kapolres dikenal tegas dan kini sedang tangani kasus-kasus besar.

Kemungkinan ketiga, motif campuran ’ekonomi’ dan ’politik’. Kata pepatah: sambil menyelam, minum air. Sambil memanen pulsa gratis, nama baik kapolres dicoreng. Atau, pepatah lain: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali mencatut nama kapolres, dua tujuan tergapai. Duitnya datang, kapolresnya ditendang.

Motif lain? Silakan bikin ’teori’. Namun, sebagus apa pun ’teori’ itu, semuanya sebatas dugaan. Si pelaku belum diketahui. Karena itu, ia belum bisa ditangkap. Belum bisa dimintai keterangan. Maka, motif tindakannya tetap penuh tanda tanya, meski ’teori’ kita penuh tanda seru.

Kalau motifnya penuh tanda tanya, bagaimana modusnya? Sebaliknya. Modusnya penuh tanda seru! Untuk dapat duit, justru nama kapolres yang dicatut. Pertanyaan kita: kenapa justru nama kapolres? Kenapa bukan nama pastor, suster, pendeta, ustad? Rupanya karena kurang laris. Kenapa kurang laris? Rupanya karena mereka tidak biasa ’todong’ orang.

Sebagai warga masyarakat, si penipu memiliki pengetahuan tertentu tentang polisi. Katakanlah, pengetahuan induktif, yang umum atau universal, yang datariknya dari yang individual. Mungkin saking banyaknya kasus pemerasan oleh polisi pada banyak tempat, sampailah ia pada simpulan (yang salah kalau hanya generalisasi) bahwa semua polisi ya begitu.

Dari yang umum itu, si penipu menarik yang individual (deduktif). Karena semua polisi begitu (padahal belum tentu) maka polisi di Lembata juga pasti begitu (padahal belum tentu). Semua anak buahnya begitu (padahal belum tentu), masa kapolresnya tidak begitu (padahal belum tentu). Anak buahnya sudah begitu, kapolresnya apalagi, pasti lebih dari itu (padahal belum tentu).

Dari yang deduktif ini, si penipu beranjak ke yang spekulatif dan praktis. Karena umumnya mereka begitu, bagaimana ya, kalau kapolres satu ini dicatut namanya untuk dapat duit? Di daerah lain, bisa tuh. Di Flores, hampir semua kapolres pernah dicatut namanya. Berkali-kali malah. Masa, di Lembata tidak. Siapa tahu untung gitu lo. Maka, nama Kapolres Marthen Johannis pun dicatut.

Ini soal pengetahuan. Apa yang ada di batok kepala. Menyangkut persepsi. Persepsi itu spontan dan menyesuaikan diri secara langsung dengan apa yang disajikan. Dalam kaitan dengan polisi, selagi ’penyajian’ diri polisi tetap begitu, persepsi masyarakat tentangnya pun tetap begitu. Maka, jangan kaget: pencatutan nama polisi akan tetap terjadi. Dihilangkan? Sulit. Dikurangi? Bisa. Terpulang pada jajaran polri. Mau tetap nakal atau ’bertobat’.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Juni 2010

Tidak ada komentar: