Razia Ponsel Pelajar di Sekolah
Oleh Frans Anggal
Polisi merazia ponsel para pelajar di kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Kamis 17 Juni 2010. Mereka datangi tiga SMA. Bersama kepala sekolah, mereka periksa dari kelas ke kelas. Hasilnya: 3 ponsel terindikasi berisi gambar dan video porno. Langsung disita. Siswa dan orangtua akan dipanggil ke mapolres. Dibina di sana (Flores Pos Jumat 18 Juni 2010).
Razia dilakukan menyusul beredarnya video porno di internet dengan pemeran mirip artis Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari. Tujuan razia: mencegah dan menghentikan peredaran pornografi di kalangan pelajar. Tujuan luhur agung nan mulia. Namun, perlukah caranya sejauh itu?
Polisi razia di sekolah. Dari kelas ke kelas. Pada jam belajar anak. Ini mengganggu kenyamanan belajar anak. Ini sudah melanggar hak anak. Justru karena mereka anak, para pelajar ini sesungguhnya korban pornografi. Perkembangan kepribadian mereka terganggu.
Sebagai korban, kenapa mereka diperlakukan seakan-akan penjahat kelas berat? Cara polisi di Ruteng itu menyalahi prinsip edukasi, pedagogi, dan HAM. Hanya menimbulkan trauma pada diri anak. Semestinya dinas PPO, yayasan, dan sekolah memprotesnya. Eh, tidak. Kepala sekolah dan guru malah bersemangat mengantar polisi dari kelas ke kelas.
Pertanyaan kita: apa gunanya kepala sekolah, wali kelas, dan guru kalau untuk tertibkan ponsel siswa saja mesti pakai polisi? Sudah dibuang ke mana otonomi pendidikan dan otonomi sekolah? Kini, di Ruteng, yang bina siswa itu polisi, bukan lagi guru. Sebab, guru cuma pengajar, bukan pendidik. Tempat pembinaannya mapolres, bukan lagi sekolah. Sebab, sekolah cuma lembaga pengajaran, bukan panti pendidikan.
Lembaga formal dan otonom ini sudah diubrak-abrik. Bagaimana pula dengan keluarga dan masyarakat luas sebagai lembaga informal? Warga Ruteng harus waspada. Atas nama misi ‘suci’ mencegah dan menghentikan pornografi, polisi bisa saja memeriksa ponsel di jalan raya, di pasar, di toko, bahkan di rumah kediaman. Atas nama misi itu, mereka bisa masuk hingga kamar tidur.
Kalau benar akan seperti itu, yang jadi sasaran tetap saja orang kecil. Orang besar aman. Ponsel mereka dianggap hanya berisi gambar kudus dan video suci. Ya, mau tidak mau, dianggap begitu. Karena, mana berani polisi periksa ponselnya bupati, wabup, sekda, ketua DPRD, jaksa, hakim, dandim, kadis, dan pengusaha, hanya atas dasar “siapa tahu ada gambar dan video porno”, sebagaimana dalilnya saat memeriksa ponsel para pelajar.
Polisi sudah tidak tahu diri. Sembrono. Dinas PPO, yayasan, dan sekolah juga begitu, kalau tidak memprotes kesembronoan polisi. Sembrono di sini tidak dalam pengertian melanggar hukum. Polisi justru sedang hendak menegakkan hukum. Namun caranya berlebihan. Melampaui ukuran yang perlu, sehingga kontraproduktif. Yang dilanggar bukan asal legalitas, tapi asas proporsionalitas.
Asas ini jugalah yang dikangkangi polisi dalam proses hukum trio artis Ariel-Luna-Cut. Bayangkan, polisi akan lakukan uji fisik trio artis itu untuk membuktikan keaslian video porno. Salah satu ciri fisik perempuan mirip Luna dalam video itu adalah tato di kiri pinggul (Kompas.com, Selasa, 15 Juni 2010).
Menanggapi berita ini, pembaca bernama Bambang Irawan berkomentar ‘berlebihan’ tapi kena. “Uji fisik ini maksudnya, lihat kondisi tubuh seutuhnya sampai ke lekok-lekoknya dalam keadaan telanjang bulat, dan dibandingkan dengan yang di video, termasuk bagaimana mengulang kejadiannya di muka bapak-bapak polisi. Kalau begini, saya juga mau daftar jadi polisi!”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar