Kontroversi Pelantikan Sekda Ende
Oleh Frans Anggal
Setelah menanti setahun lebih, Kabupaten Ende akhirnya memiliki seorang sekda definitif. Yoseph Ansar Rera. Ia dilantik di Ende oleh Gubernur Frans Lebu Raya pada Sabtu 29 Mei 2010 (Flores Pos Senin 31 Mei 2010).
Ansar Rera, putra daerah Sikka. Ia satu dari tiga kandidat yang diusulkan bupati ke gubernur untuk selanjutnya diteruskan ke mendagri guna ditetapkan salah satunya. Dua lainnya, Dominikus M Mere, putra daerah Ende, dan Agus Harapan, putra daerah Manggarai.
Atribut putra daerah sengaja kita cuatkan. Sebab, di Ende, selama setahun lebih jabatan sekda lowong, wacana putra daerah sangat terasa. Terkesan, sebagian kalangan inginkan sekda ’harus’ orang Ende. Tak terkecuali, sebagian kalangan DPRD. Mereka rajin wacanakan di koran.
Bedanya dengan yang lain, mungkin karena politikus, kalangan DPRD ’diplomatis’. Mereka gunakan bahasa, tidak hanya untuk ungkapkan sesuatu, tapi juga untuk sembunyikan sesuatu. Lemparnya jauh, jatuhnya dekat. Hingga sehari jelang pelantikan Ansar Rera, ’diplomasi’ itu masih terasa. Contoh, ucapan Ketua Komisi A DPRD H. Yusuf Oang. ”Karena beliau ini (Ansar Rera) dari luar dan baru masuk ke wilayah kita, beliau harus menguasai betul wilayah kita ....” (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).
Secara tekstual, pernyataan ini ’bermasalah’. Bila dilengkapi: karena Ansar Rera bukan putra Ende dan baru masuk Ende, tentu ia belum atau tidak menguasai wilayah Ende, maka ia harus belajar agar menguasai betul wilayah Ende.
Pertanyaan kita. Pertama, kalau dia putra Ende dan lama tinggal di Ende, apakah otomatis dia menguasai betul wilayah Ende? Belum tentu! Kedua, kalau dia menguasai betul wilayah Ende, apakah otomatis ia menjadi sekda yang baik? Belum tentu! Ketiga, apakah harus seorang sekda yang tupoksinya birokratis-administratif menguasai wilayah? Tidak! Kalau begitu, kenapa sekda dikaitkan, malah disertai keharusan, dengan hal itu?
Untuk menjawabnya, cara wawas kita tidak cukup kalau hanya tekstual. Perlu juga kontekstual. Konteksnya dapat kita telusuri dari frasa tertentu pada ucapan tadi. Biar jelas, kita kapitalkan: ”Karena beliau ini DARI LUAR dan BARU MASUK ke WILAYAH KITA, beliau harus menguasai betul WILAYAH KITA ....”
Frasa kapital itu tidak sekadar lahir dari bibir. Tapi lahir dari pola pikir yang masih hidup di Kabupaten Ende. Pola pikir dikotomi antara ”ata mai” (pendatang) dan ”ata mera” (warga asli). Dikotomi ini selalu dibantah dalam tataran wacana. Namun, selalu muncul kembali dalam tataran praksis. Salah satunya, dalam praksis berbahasa. Contohnya, bahasa kalangan DPRD itu.
Tampaknya, pola dikotomi ini masih sangat kuat, sampai-sampai jabatan sekda yang tupoksinya birokratis-administratif diembel-embeli kriteria ”ata mera” dalam bungkusan bahasa diplomatis ”menguasai betul wilayah”. Kriteria yang lebih pas untuk jabatan politik bupati-wabup ini dipaksakan untuk sekda. Padahal sekda itu jabatan karier birokrat. Dia urus ”kertas yang bergerak”, bukan urus tanah, air, jalan, dll.
Lagi pula, tak ada presedennya sekda ”ata mera” lebih baik daripada sekda ”ata mai”. Malah, bisa sebaliknya. Sekda ”ata mera” yang ”menguasai betul wilayah” akan berdaya rusak dahsyat kalau dia jahat. Bahayanya: personalisasi birokrasi. Ia mudah membawa masuk pola-pola emosionalitas dan hubungan pribadi ke dalam struktur anonim birokrasi. KKN jadi subur. Sudah terbukti.
Karena itulah, pada masa Gubernur Ben Mboi, sekda selalu bukan putra daerah setempat. Ini kebijakan yang tepat. Maka, Ansar Rera pun pilihan yang tepat. Selamat bertugas, Pak Ansar Rera!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar