Sikapi Rekomendasi DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal
DPRD Sikka desak Bupati Sosimus Mitang segera sikapi rekomendasi DPRD berdasarkan hasil kerja pansus kasus pengadaan alat angkut darat dishubkominfo Rp1,8 miliar. Desakan ini muncuat pada pandangan umum fraksi dalam rapat peripurna, Kamis 27 Mei 2010 (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).
Rekomendasinya: penonaktifan sementara Kadishubkominfo Robertus (Roby) Lameng. Tujuannya: Roby fokus pada penyelesaian hukum kasus dishubkominfo. Tanggapan bupati: akan pelajari dan sikapi dengan cermat. Tanggapan Roby: terima apa pun sikap bupati (Flores Pos Rabu 19 Mei 2010).
Pansus temukan, kerugian negara dalam kasus dishubkominfo Rp638 juta. Terjadi pengurangan pengadaan alat angkut. Pengadaan seharusnya, 7 unit: 6 bus dan 1 pick up. Realisasinya, 6 unit: 5 bus dan 1 pick up. Alasan Roby Lameng, bahwa jumlah dikurangi karena harga naik, tidak terbukti dalam penyelidikan pansus.
Hasil kerja pansus ini sudah diserahkan ke bupati. Disertai rekomendasi penonaktifan Roby Lameng. Kata DPRD, sejak rekomendasi diserahkan, sepuluh hari sudah berlalu. Tindak lanjut bupati belum ada. Gong rekomendasi sudah berkumandang di bumi Sikka. Sikap bupati belum jelas.
”Apakah Saudara Bupati juga menyetujui kebijakan Kepala Dishubkominfo? Ataukah seperti apa sikap Saudara Bupati atas rekomendasi pansus DPRD tentang pengadaan alat angkut darat tersebut?” Pertanyaan retoris ini dilontarkan Fraksi Gerakan Indonesia Raya.
Semestinya, memang, Bupati Sosi segera ambil sikap setelah pelajari cermat rekomendasi itu. Kesalahan bupati terletak di situ. Dan, hanya dalam hal itu. Hanya dalam hal ke-tidak-segera-an mengambil sikap. Bukan dalam hal isi sikap. Isi sikap, menonaktifkan Roby atau tidak, itu hak prerogatif bupati. Maka, DPRD harus hormati itu. Harus tahu diri. Jangan paksakan kehendak.
Tujuan penonaktifan itu sendiri lemah: agar Roby fokus pada penyelesaian kasus hukum. Lho, penyelesaian kasus hukum itu fokusnya polisi, jaksa, hakim. Bukan fokusnya Roby. Fokusnya Roby tetap pada tupoksinya sebagai kadis. Selain itu, dampaknya bisa buruk. Kalau semua kadis berkasus hukum harus dinonaktifkan, birokrasi akan macet, pelayanan publik akan terlantar.
Ditilik dari hal-hal tersebut, penonaktifan itu tidak harus, bahkan tidak perlu. Bupati Sosi harus tegar di atas apa yang menjadi klaimnya (hak prerogatif) dan demi apa yang menjadi klaim rakyatnya (kesejahteraan). Jangan sekali-kali menonaktifkan kadis hanya karena desakan DPRD. Apalagi kalau dengan persepsi sesat bahwa DPRD itu representasi mandat mutlak kehendak rakyat.
Legislatif bukanlah representasi mandat mutlak kehendak rakyat. Sebab, legitimasinya melalui pemilu tidak sepenuhnya dari rakyat, tetapi juga dari KPU (pembagian sisa suara, dll) dan dari partai (recall, dll). Sebaliknya, pada bupati (juga kades, gubernur, presiden) yang dipilih langsung. Legitimasinya sepenuhnya dari rakyat. Rakyat memberikan mandat mutlak. Maka, sesungguhnya, bupatilah pengemban peran representasi. Sedangkan DPRD, pengemban peran delegasi.
Karena itu, akan lucu kalau, ketika harus mempertahankan apa yang menjadi klaimnya dan klaim rakyatnya, bupati tunduk takluk taat penurut pada kesewenang-wenangan DPRD. Mungkin ia khawatir: kalau keinginan DPRD tidak diladeni, konstelasi politik di DPRD akan mengganggu efektivitas pemerintahannya. Itu bisa terjadi. Bisa juga tidak. Tergantung dari DPRD-nya, cerdas atau tidak. Pada akhirnya, rakyat yang akan menilai. Yang cerdas, pasti dipilih kembali. Yang tidak, cukup kali ini.
“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar