Kontroversi Pelantikan Sekda Ende
Oleh Frans Anggal
Forum Ende Rembuk (FER) datangi DPRD Ende. Mereka menilai, Bupati Don Bosco M Wangge tidak adil. Karena, jabatan sekda diisi oleh orang dari luar Ende. Padahal, masih banyak putra Ende yang pantas untuk jabatan itu (Flores Pos Rabu 1 Juni 2010). Orang luar yang dimaksud, Yoseph Ansar Rera, putra daerah Sikka. Ia dilantik jadi sekda Ende pada Sabtu 29 Mei 2010.
Penuhi permintaan FER, Wakil Ketua DPRD Anwar Liga berjanji akan teruskan aspirasi kepada bupati. DPRD juga ingin dengar langsung penjelasan bupati. Sampai di sini, oke. Selanjutnya, gawat. Simaklah pernyataan si wakil ketua:
”Untuk beberapa hal, termasuk (soal) sekda ini, bupati tidak pernah menyertakan dewan sebagai mitra. Kami benar-benar tidak dianggap. Kami tidak pernah diajak untuk berpikir. Atau, menurut versi mereka, kami belum pantas untuk diajak berembuk. Kami memiliki Komisi A. Setidaknya komisi ini dilibatkan.”
Ini keluh-kesah! Dilakukan bergilir. Setelah FER berkeluh-kesah kepada DPRD tentang bupati, giliran DPRD balik berkeluh-kesah kepada FER, juga tentang bupati. Karena dipublikasikan, keluh-kesah ini pun keluh-ksah ke publik.
Reaksi publik? Bisa beraneka. Publik cerdas pasti kaget. Wakil rakyat koq berkeluh-kesah kepada rakyat. Bukankah semestinya sebaliknya? Yang dikeluhkan pun soal komunikasi dengan bupati. Kenapa dikeluhkan tanpa diatasi? Keluh-kesah tidak perlu terjadi kalau, sebagai mitra, DPRD tidak hanya tunggu diajak bupati. Kalau diajak tidak, kenapa tidak proaktif mengajak? Kemitraan selalu mengandaikan resiprositas, ke-saling-an, termasuk saling ajak.
Namun, resiprositas pun ada batasnya. Tidak semunya harus hasilkan kompromi. Sebab, tidak semua kompromi itu baik. Karena itulah lahir hak prerogatif. Dalam pencalonan sekda, hak prerogatif ada pada bupati. Kalau DPRD tidak diajak berembuk, ya, karena memang tidak harus. Kalau DPRD merasa perlu, proaktiflah jalin komunikasi. Asal, dengan mental reserve: putusannya bukanlah hasil kompromi, tapi pemenuhan hak prerogatif bupati.
Tampaknya, mental reserve itu yang kurang. Pertanda, kurangnya pemahaman akan sistem demokrasi yang dibangun. Di tingkat nasional, kita memilih sistem presidensial. Dan menjalankannya melalui pemilu langsung presiden. Maka, politik negara adalah politik sang presiden. Memilih seorang presiden secara langsung berarti memberi blangko kosong politik. Demikian pendapat filosof Rocky Gerung (Kompas Kamis 30 September 2004).
Analog dengan di daerah: pemilukada langsung. Bupati yang dapat dukungan luas rakyat pada prinsipnya tidak harus berembuk dengan DPRD dalam menyusun ‘kabinet’. Dengan demikian, ia dibebaskan dari beban transaksi politik, yang justru dapat menghambat efektivitas pemerintahan. Tidak harus lagi cari legitimasi politik dari partai, karena asal kekuasaannya langsung dari rakyat. Yang diperlukan cuma birokrasinya profesional dan paham akan masalah rakyat.
Ini prinsip dan konsekuensi dari hak prerogaatf bupati yang lahir dari pemilukada langsung. Tampaknya, ini kurang dipahami, baik oleh sebagian rakyat maupun oleh sebagian DPRD. Karena kekurangpahamanan itulah muncul keluh-kesah yang tidak tepat dan tidak pada tempatnya. Dengan mindset sesat pula, dikotomis primordialistis, “orang dalam” dan “orang luar”.
Ende kota kelahiran Pancasila. Pancasila menghargai pluralitas dan multikulturalitas. Dikotomi “orang dalam” dan “orang luar” itu langkah mundur sejarah. Ende sudah dapat sekda definitif. Tinggalkan dikotomi itu. Beri sekda kesempatan. Tugas DPRD, mengontrol. Bukan berkeluh-kesah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar