Wajah Baru, Mentalitas Lama
Oleh Frans Anggal
Jangan kira hanya di Nagekeo ada bupati kecil. Di Ende juga ada. Fenomenanya terekam, antara lain, lewat respon publik via SMS terhadap ”Bentara” Flores Pos. Pertama, respon terhadap ”Kadis PPO Ende Keliru” (Bentara Flores Pos Rabu 9 Juni 2010). Kedua, respon terhadap ”Bupati Kecil di Nagekeo” (Bentara Flores Pos Kamis 10 Juni 2010).
Dari seorang guru: ”Kalo boleh senggol lagi (tentang) sertifikasi guru yang tidak ada ujungnya (soal) pembayaran tunjangan. Kabupaten lain 3 bulan (sudah dibayar), sedangkan Ende alasan apa sampe setahun baru (di)bayar? Itu pun belum pasti. Ke mana uang segitu banyak?”
Dari seorang pegawai pemkab. Tentang gaji tenaga honorer yang sudah lulus CPNSD Januari dan SK-nya diterima April. ”Gaji honorer mereka sudah tidak dibayar sejak Januari. Ke mana gaji mereka 3 bulan itu? Mereka tetap kerja tanpa dibayar oleh pemda? Begitu pula dengan guru-guru kontrak. Tiga bulan tanpa gaji, banyak keluhan, tapi dicuekin sama dinas terkait dan BKD.”
Ini ketidakberesan birokrasi. Dalam pemerintahan Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar, kasus seperti ini harus dipandang sebagai kejutan besar. Kenapa? Karena, ternyata, jauh panggang dari api. Jauh kenyataan dari harapan. Apa harapan itu? Reformasi birokrasi.
Harapan itu tidak lahir tiba-tiba. Tidak pula hanya karena dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi juga dan terutama karena dijanjikan oleh Wangge-Mochdar, baik pada masa kampanye pilkada maupun saat keduanya dilantik jadi bupati-wabup. Pemenuhan janji itu? Jangan tanya pada pemberi janji. Tanyakan pada penerima. Masyarakat dan pegawai-pegawai kecil. Kenapa?
Sebab, Wangge-Mochdar sudah patok tolok ukur. Kepuasan masyarakat, kunci keberhasilan birokrasi. Masyarakat puas, birokrasi sukses. Sebaliknya, masyarakat kecewa, birokrasi gagal. Dalam kasus di atas, guru dan pegawai kecil pemkab itu justru kecewa. Kecewa dengan pelayanan birokrasi.
Kunci pelayanan publik ada tiga. Cepat, mudah, murah. Yang terjadi? Sebaliknya. Dari dulu sampai sekarang. Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah. Kalau bisa dibikin mahal, kenapa harus dibuat murah. Inilah yang menimpa orang-orang kecil.
Selain tidak cepat, tidak mudah, dan tidak murah, pelayanan itu pun tidak pasti. Soal sertifikasi, pembayaran tunjangan, dan honor, para guru meraba dalam kegelapan. Soal gaji tiga bulan tidak terbayar, para pegawai kecil pemkab hampir putus asa, karena keluhannya dicuekin atasan. Ini birokrasi macam apa?
Salah satu asumsi umum tentang birokrasi adalah sifat-dapat-diramalkan. Orang menganggap birokasi akan berjalan dengan tata langkah tetap tertentu. Tata langkah itu diketahui dan dengan demikian dapat diramalkan. Yang terjadi di atas, sebaliknya. Tidak dapat diramalkan. Tidak jelas juntrungannya. Ini menunjukkan apa? Sifat ’kesemauan’ (arbitrer) pada petinggi birokrasi masih dominan. Suka-sukanya mereka. Mereka adalah bupati-bupati kecil.
Banyaknya bupati kecil itu menunjukkan, birokrasi Pemkab Ende belum berubah signifikan. Reformasinya masih sekadar harapan masyarakat. Masih sekadar janji Wangge-Mochdar. Cuma wajahnya yang berubah, mentalitasnya tetap sama. Masih seperti dulu. Mungkin juga ingin kembali ke yang dulu, yang usang. Maka, itu bukan lagi reformasi birokrasi. Tapi, restorasi birokrasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar