Kasus Tenaga Harian Lepas
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Nagekeo. Diam-diam, para kepala dinas merekrut tenaga harian lepas. Tanpa sepengetahuan bupati. Padahal, bupati itu kepala pemerintahan. Tanpa sepengetahuan badan kepegawaian daerah (BKD). Padahal, BKD itu penganggar gaji. Bupati Nani Aoh begitu kesal. ”Pengangkatan THL itu jangan semaumu, tapi harus sepengetahuan BKD,” katanya kepada para kadis pada apel kesadaran Senin 7 Juni 2010. ”Kalau DPRD tanya nanti, kamu sendiri yang jawab” (Flores Pos Rabu 9 Juni 2010).
Kekesalan Bupati Aoh tidak hanya karena itu. Selain seenak perut mengangkat THL, para kadis juga seenak perut memberhentikan THL yang sudah lulus CPNSD. ”Memberhentikan THL yang lulus testing CPNSD itu salah, karena terkait erat dengan APBD,” kata bupati.
Maksud bupati: pemberhentian THL yang lulus CPNSD baru dibolehkan kalau yang bersangkutan sudah mendapat SK pengangkatan dan SK penempatan dari bupati. Selagi SK itu belum ada, THL tetap THL dan digaji sebagai THL, karena nama mereka masih ada dalam dokumen perencanaan anggaran (DPA).
Nagekeo. Daerah otonom baru. Mekaran dari kabupaten induk Ngada. Kelahirannya dipersiapkan lama. Bahkan matang. Tidak tanggung-tanggung, pakai seminar, menghadirkan 20-an pakar berbagai bidang, hingga menghasilkan buku Rancang Bangun Nagekeo. Yang begini tidak ada di daerah otonom baru lain di Flores, bahkan di NTT, mungkin juga jarang di Indonesia.
Ke mana larinya semua visi, misi, strategi, konsep, gagasan, kritik, dan saran dalam Rancang Bangun Nagekeo? Jawabannya: tidak ke mana-mana. Tetap dalam buku itu. Dan berhenti dalam buku itu. Alurnya ringkas: habis seminar, terbitlah buku. Habis terbit, habislah semuanya. Kenapa? Ini yang tidak kita tahu.
Boleh jadi, buku itu yang salah. Mungkin cuma omong yang besar-besar. Lupa akan detail. Lupa, misalnya, memberikan pedoman bagaimana mengangkat dan memberhentikan THL. Tapi, perlukah buku grand design alias GBHN-nya Nagekeo itu memuat tetek bengek kebirokrasian yang baku dan umum? Tentu tidak. Kalau begitu, buku itu tidak salah.
Lalu, siapa yang salah? Para kadis. Seenak perut mengangkat dan memberhentikan THL. Tanpa sepengetahuan bupati dan BKD. Seolah-olah pemerintah Negekeo tidak punya struktur, sistem, mekanisme, dan budaya birokrasi, yang lazimnya tersketsa pada organigram, yang hubungan antar-komponennya ditandai garis komando, garis konsultasi, dan garis koordinasi. Ini elementer pada semua organisasi. Menafikan garis itu pelanggaran organisatoris serius, bukan sekadar kesalahan teknis.
Sebagai pejabat eselon dua dan orang pilihan bupati-wabup, para kadis tahu seluk-beluk itu. Sudah jadi ’makan minum’ tiap hari. Lagipula, salah satu pengertian umum tentang birokrasi adalah pengertian tentang tata langkah atau prosedur yang layak. Birokrasi dianggap berjalan menurut aturan dan tata urut rasional. Ini semua diketahui atau pada prinsipnya dapat diketahui.
Jadi, tidak mungkin para kadis tidak tahu. Yang terjadi: mereka tau, tapi tidak mau tau. Ini gejala apa? Gejala permen karet (bubble gum phenomenon). Gejala penggelembungan diri. Merasa, menganggap, menempatkan, dan memperlakukan diri besar, sedemikian hingga sejajar dengan bupati dan, karena itu, lebih tinggi dari kepala BKD. Istilah populernya: fenomena bupati kecil.
Kalau sampai banyak bupati kecil di bawah bupati besar, ini salah siapa? Salah bupati besar dan wabupnya. Salah pilih dan salah asuh para kadis. Mungkin juga karena bupati-wabup terlalu ’baik’. Terlalu ’baik’ itu kan tidak baik lagi, bukan?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar