Logika Konyol di NTT
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, bendahara RSUD Maumere selewengkan dana Rp485 juta lebih. Kasusnya tahun 2008. Dua tahun tidak terendus media massa, karena ’di-rahasia-negara-kan’ oleh pemkab. Penyelesaiannya secara internal kepemerintahan. Yang bersangkutan dimutasikan, dan diwajibkan mencicil pengembalian dana (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010).
Tentang ini, anggota DPRD Sikka bersilang pendapat (Flores Pos Sabtu 5 Juni 2010). Fransiskus Ropi Cinde dari PAN dan Suaib dari PKS setuju dengan cara pemkab. Kembalikan uang, wajib. Proses hukum, tidak. Sejauh cicilan beres, proses hukum tidak perlu. Kalau tidak beres, barulah proses hukum.
Sebaliknya, pendapat Ambrosius Dan dari Partai Demokrasi Pembaruan. Menurut dia, pengembalian uang tidak boleh gantikan atau hilangkan proses hukum. Ia khawatir, cara tersebut bisa jadi preseden buruk. Semua pegawai akan berbuat seperti itu. Ia juga menilai ini tidak adil. Bandingkan dengan pencuri ayam. ”Proses hukumnya jalan, pelakunya ditahan.”
Ambrosius Dan benar. Logikanya logika elementer hukum pidana. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tak ada hanya karena uang negara dikembalikan. Karena itulah, pengembalian uang ke kas negara tidak boleh halangi, gantikan, hentikan, atau hilangkan proses hukum.
Orang kampung paling kampungan sekalipun paham itu. Cukup dengan analogi, mereka mengerti. Yang membacok orang hingga terluka parah pasti tetap diproses dihukum, meskipun luka bacokan sudah sembuh. Kenapa? Menyembuhkan luka hanya memulihkan akibat, tidak memulihkan sebab. Adapun sebab, yakni perbuatan membacok, tinggal tetap, dan hanya bisa dipulihkan oleh hukuman.
Jadi, logika elementer hukum pidana sesungguhnya logika akal sehat. Semua orang, asal waras, pasti membenarkannya. Sebaliknya, yang menyangkalnya pantas diragukan kewarasannya. Sayang, ini tidak dianut Pemkab Sikka dan sebagian DPRD-nya. Selain menginjak akal sehat, mereka suburkan bencana. Korupsi disamakan dengan ‘pinjam uang negara’! Yang penting, kembalikan!
Rasukannya merusak otak orang hukum juga. Contoh, di Ende, dalam kasus PLTU Ropa. Terdakwa ambil uang, lalu kembalikan. Jumlah pengembaliannya lebih banyak. Maka, kuasa hukum terdakwa berkata: tidak ada kerugian keuangan negara! (Flores Pos Jumat 4 Juni 2010). Kalau konsisten dengan logika ‘pinjam uang negara’, seraya mengingat jumlah yang dikembalikan itu lebih banyak, semestinya dia berkata: negara diuntungkan! Berkat korupsi!
‘Negara diuntungkan’, ini persis sama dengan ucapkan petinggi Pemprov NTT ketika membenarkan peminjaman miliaran rupiah dana APBD 2009/2010 oleh 55 anggota DPRD NTT untuk beli mobil pribadi. Pengembaliannya dicicil 48 bulan. Kalau konsisten dengan logika ‘pinjam uang negara’, seraya mengingat ‘negara diuntungkan’ olehnya, semestinya dia berkata: semakin banyak dana APBD dipinjamkan (bila perlu dipinjamkan sampai habis), semakin untunglah negara!
Apa yang salah di sini? Pertama, yang dilihat hanya negara. Warganya tidak. Yang penting negara untung, persetan warga buntung. Kedua, korupsi, pinjam dana APBD, dll menjadi sekadar masalah teknis. Maka, penyelesaiannya pun teknis. Kembalikan uang, titik. Hukum dan moral? Tidak ada. Rasa bersalah dan malu? Kosong. Kalau ketahuan? Itu namanya lagi sial, titik. Mengerikan!
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar