Kasus Anjloknya Kelulusan UN 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 669 dari 1.875 siswa SMA/MA di Kabupaten Ende tidak lulus UN susulan. Yang lulus 64,32 persen, tidak lulus 35,68 persen. Lembata, di atas Ende. Peserta 604, lulus 82,95 persen, tidak lulus 17,05 persen. Manggarai, lebih di atas lagi. Peserta 2.045, lulus 96,57 persen, tidak lulus 3,43 persen (Flores Pos Selasa 8 Juni 2010).
Untuk sementara, Ende nomor buntut. Rupanya karena inilah Kadis PPO Ende Fransiskus Hapri angkat bicara. Dia bilang, ketidaklulusan itu bukan kegagalan siswa, tapi kegagalan guru dan pengawas. Tersirat, ini juga bukan kegagalan pemerintah.
Kenapa guru? ”Pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan memberikan tunjangan kesejahteraan bagi guru, membangun infrastruktur sekolah, dan melengkapi fasilitas yang dibutuhkan sekolah.” Kenapa pengawas? ”Pengawas mendapat SPPD. Jadi, sejauh apa pun lokasi sekolah, harus bisa dijangkau.”
Dengan pernyataannya itu, seolah-olah Kadis Hapri sudah lakukan penelitian ilmiah, dengan teori benar, variabel lengkap, simpulan tepat. Tapi, sejauh dipublikasikan, penelitian itu tidak ada. Kalaupun ada, koq begitu ya?
Asumsi teoritisnya bermasalah. Yakni, mencari akar persoalan, dengan anggapan: begitu akarnya dicabut, bereslah semuanya. Sang kadis menyebut akar kembar, guru dan pengawas, biang kerok anjloknya kelulusan UN. Sedangkan siswanya beres. Pemerintahnya beres.
Ini khas pemikiran biologis. Penyakit didiagnosis, resep diberikan, obat diminum, sembuhlah si pasien. Pemikiran biologis tidak cocok untuk masalah sosial. Hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial sangat longgar. Sebuah sebab dapat timbulkan banyak akibat berbeda. Demikian pula, sebuah akibat dapat muncul dari banyak sebab berbeda dan bahkan bertentangan.
Sang kadis terperangkap dalam apa yang oleh sosiolog Ignas Kleden disebut sebagai jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis (Tempo 14-20 Agustus 2000). Yaitu, usaha politis dan intelektual menemukan akar (radix) persoalan. Dalam praktik, radikalisme ini mudah mendapat penganut, karena muncul harapan: banyak soal akan beres kalau akar itu dibereskan. Masalahnya, akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin. Di sisi lain, radikalisme ini berbahaya: dapat lahirkan sikap totaliter. Karena akar dianggap sudah ditemukan, muncul godaan memaksa orang lain membereskan akar itu.
Godaan ini ada pada sang kadis. Simak pernyataannya. Karena pengawaslah akar anjloknya kelulusan UN, maka ia akan minta hasil supervisi yang sudah dilakukan pengawas selama ini. Guru? Tentu, tinggal dilecut oleh pengawas. Apalagi, guru sudah dapat tunjangan kesejahteraan, 800 lebih sudah disertifikasi. Ini berkat kerja pemerintah yang serba-beres. Bernakah?
Beres apanya! Sebagian (besar) guru belum dapat tunjangan. Sertifikasi pun bermasalah. Ada 200 yang belum terima SK meski sudah disertifikasi sejak Oktober 2009. Padahal, mereka sudah setor Rp50 ribu per orang untuk biaya petugas ke Kupang. Hasilnya? Hingga Mei 2010, Jakarta masih tunggu data dari LPMP Kupang. Jangan-jangan LPMP masih tunggu data dari Ende!
Ini hanya salah satu contoh, dari sekian banyak masalah yang berjalin berkelindan, yang mengharuskan kita tidak mengakarkan anjloknya kelulusan UN hanya pada guru dan pengawas. Faktor penyebabnya banyak. Termasuk di dalamnya, dan malah terutama, pemerintah! Menudingkannya hanya pada guru dan pengawas itu keliru. Itu namanya cuci tangan dan cari kambing hitam.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar