Masalah Air Bersih di Ngada
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 3.583 warga di Desa Beiwale dan Wawowae, Kabupaten Ngada, kesulitan air bersih. Mereka konsumsi air kali di Wawowae. Kerap mereka harus berebut dengan kerbau dan sapi. Sebab, kali ini juga jadi kubangan kerbau dan sapi (Flores Pos Kamis 17 Juni 2010).
Air di Wawowae sesungguhnya bersih. Namun, yang bersih sudah disalurkan ke Bajawa, Watujaji, dan Langa. Ditarik langsung dari mata airnya. Untuk warga Beiwale dan Wawowae, tinggal sisanya. Tentu sedikit. Karena sedikit maka diperebutan. Karena diperebutkan maka kotor. Mana tidak kotor, berebut dengan kerbau dan sapi.
Berkali-kali warga minta pemerintah membangun sarana air bersih. “Hingga saat ini keluhan belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Kami ini hanya berjarak tiga kilometer dari pusat kota (Bajawa), namun selama ini terus diterlantarkan pemerintah,” kata mantan Kades Wawowae Bernadus Wea.
Bukan hanya soal jarak. Mata air itu ada dalam wilayah mereka. Mereka yang empunya air, mereka juga yang kesulitan air. Air dari mereka, tapi bukan untuk mereka. “Kami sendiri kekeringan, sementara air dari daerah ini diekesploitasi,” kata tokoh masyarakat Aurelius Doy.
Menyedihkan. Dalam keberkelimpahan air, mereka malah berkekurangan. Dalam kekayaan, mereka dimiskinkan. Dalam kepenuhan, mereka digembos. Mereka ini dikorbankan demi mereka yang lain. Ini proses penumbalan dalam pembangunan. Tidak dapat dibenarkan.
Kalau mereka diam saja, itu bodoh. Kalau mereka kecewa dan marah, itu wajar. Kalau mereka menuntut dengan ancaman, itu bisa dimengerti, meski tidak dapat dibenarkan. Mereka akan boikot suplai air ke Bajawa, Watujaji, dan Langa kalau pemerintah tidak segera bangun sarana air besih. Koq pakai ancaman? “Sudah tidak ada cara lain lagi yang lebih santun,” kata tokoh masyarakat Niko Mbue.
Menghadapi ketegangan ini, DPRD dan pemkab tidak perlu digurui. Mereka orang pilihan, dianggap cerdas, aspiratif, sehingga nama mereka selalu diembel-embeli “yang terhormat”. Yang mungkin perlu diingatkan hanyalah satu ini. Sikap dasar mengakui kesalahan. Ini penting. Harapan akan selesainya masalah tidak mungkin final kalau mereka tidak lugas mengakui mereka gagal.
Kasus ini ada hikmahnya juga. Ini contoh yang baik tentang hal buruk. Perusahaan milik daerah atau negara tidak punya tanggung jawab sosial, budaya, dan ekonomi terhadap komunitas tempatnya beroperasi dan terhadap hak-hak warga di komunitas itu. Dimensi akuntabilitasnya kosong melompong.
Pemerintah, melalui perusahaannya, sudah demikian masa bodoh terhadap nasib warganya sendiri. Bagaimana ia bisa diharapkan mampu dan berani menuntut tanggung jawab perusahaan non-pemerintah, katakanlah dalam pertambangan terbuka emas dan mangan misalnya? Ia akan mudah bersekongkol dengan atau dikibuli oleh investor.
Di hadapan pemerintah macam ini, investor tambang menjadi free rider. Penumpang yang tidak membayar. Kalaupun membayar, bayarannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keuntungan yang ia bawa dan kerugian yang ia tinggalkan. Free rider merasa tidak punya urusan dengan kehancuran masyarakat, lingkungan, dll.
Wala, mirip dengan sikap pemkab dalam kasus air itu. Air bersihmu kualirkan ke tempat lain. Kamu dapat kotornya. Silakan berebut dengan kerbau dan sapi!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar