Kasus Pemilukada Manggarai 2010
Oleh Frans Anggal
Pemilukada di Manggarai diwarnai unjuk rasa. Koalisi 8 paket, minus Credo, berdemo ke KPU dan DPRD, Sabtu 5 Mei 2010. Mereka mendesak penghitungan suara dihentikan. Pemilukada penuh pelanggaran. Semuanya mengarah ke Credo, paket incumbent, Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamilus Deno (Flores Pos Senin 7 Juni 2010).
Pelanggarannya. Pertama, Bupati Rotok keluarkan SK pada masa kampanye: semua kadis dan camat harus pantau pemungutan suara. Dampaknya, di Reo, camat dan PNS masuk TPS, cek perolehan suara. Konflik! Camat dievakuasi ke Ruteng. Kedua, Wabup Deno berwawancara radio pada masa tenang. Ketiga, baliho Credo yang dipasang bagian humas pemkab tidak diturunkan pada masa tenang. Keempat, bagi-bagi uang (money politics) di Kecamatan Cibal.
Kalau itu benar, disayangkan. Bukan hanya karena itu salah secara hukum dan moral. Tapi juga karena sesungguhnya itu tidak dibutuhkan untuk kemenangan Credo. Tanpa itu, Credo menang. Kuncinya sudah di tangan.
Pertama, Credo paket paling dikenal konstituen. Selain karena incumbent, Rotok-Deno sangat komunikatif. Dalam ranah budaya ke-manggarai-an, Rotok orangnya. Dalam ranah budaya ilmiah, Deno orangnya. Keduanya sinergis menyedot simpati dari akar rumput sampai pucuk pohon.
Kedua, Credo dipersepsi oleh akar rumput sebagai bupati-wabup yang telah berbuat nyata. Paling dirasakan, sarana transportasi jalan raya. Masyarakat Manggarai tidak perlu diajari budi daya tanaman perdagangan. Mereka tidak butuhkan itu. Yang mereka butuhkan, jalan raya yang baik, agar komoditas mereka bisa dipasarkan.
Konfirmasi tentangnya disampaikan sosiolog Unwira Kupang, Pater Paulus Ngganggung SVD, di Bandara Aroeboesman Ende, saat transit dalam penerbangan Ruteng-Kupang, Minggu 6 Juni 2010. Menurutnya, Credo menang 35 persen (hasil penghitungan sementara) karena masyarakat merasakan Rotok-Deno telah berbuat nyata bagi mereka.
Ketiga, satu-satunya masalah yang bisa digunakan sebagai isu mangganjal Credo adalah kasus tambang mangan. Namun, isu tambang masih elitis. Kalaupun mengakar rumput, isunya sebatas pada masyarakat lingkar tambang, yang notabene populasinya tidak seberapa. Isu tambang belum jadi isu ’seksi’. Dampak buruk tambang masih kalah pupuler dari dampak positif jalan raya.
Dengan ketiga faktor itu, Credo unggul dalam ’marketing’ politik pemilukada. Dengannya, jauh sebelum pemilukada, Credo sudah menang. Kampanye hanyalah kemasan apik-memikat dari apa yang sudah, bukan dari apa yang belum dimilikinya. Semuanya sudah di tangan. Tinggal diwacanakan secara komunikatif-persuasif. Dan, Rotok-Deno memiliki kemampuan untuk itu.
Karenanya, sungguh disayangkan kalau apa yang dituduhkan koalisi 8 paket itu terbukti sah dan meyakinkan. Ibaratnya: Credo sudah miliki air di dulang. Air itu tidak dijaganya agar tetap tenang dan bening, tapi malah ditepuk sehingga keruh dan terpercik. Akibatnya, seperti kata pepatah. Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri. Wajah Credo ternoda percikan itu.
Kenapa bisa berantakan begini? Jawabannya sederhana. Credo kurang pede. Selama 5 tahun memimpin, Rotok-Deno sudah memenangkan hati rakyat. Sayang, itu tidak diyakininya sebagai jaminan kemenangan periode kedua. Seandainya pede, Credo tetap menang, tanpa pelanggaran. Dengannya, Rotok-Deno tercatat, dengan tinta emas, sebagai bupati-wabup yang kompak.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar