Kejanggal Eksekusi di Lembata
Oleh Frans Anggal
Benediktus Laru Fernandez alias Wau menimbun minyak tanah 125 liter. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Lewoleba 1 Juli 2009, ia dijatuhi vonis tahanan kota dua bulan dan denda Rp500 ribu. Ia terima. Hukuman ia jalani. Selesai. Setahun berlalu, tiba-tiba kejaksaan ingin mengeksekusi putusan tadi. Jebloskan Mau ke rutan Larantuka (Flores Pos Selasa 1 Juni 2010).
Mau monolak. Ia minta bantuan Aldiras dan Florata Corruption Watch. Pengadilan dan kejaksaan didatangi. Konfirmasi dari pengadilan: benar Mau dijatuhi hukuman tahanan kota dua bulan dan denda Rp500 ribu. Sedangkan dari kejaksaan, lucu. Ditanyakan: kenapa esksekusi baru dijalankan setelah setahun lewat dan tidak segera, paling lama tujuh hari, setelah putusan? Jawabannya: lupa, karena saat itu sibuk dengan kasus lain.
Lupa? Boleh jadi. Bila benar, ini luar biasa. Kejari Lewoleba bisa pecehkan rekor dunia untuk kategori ”lupa mengeksekusi putusan pengadilan”. Lupanya satu tahun, bayangkan! Yang begini, bukan lupa biasa. Ini sudah patologis. Amnesia. Semestinya, begitu siuman, jangan dulu eksekusi putusan yang dilupakan setahun. Lebih mendesak, periksakan diri ke psikiater.
Aldiras dan Florata Corruption Watch tidak percaya kejari lupa. Menurut mereka, kejari salah tafsir putusan pengadilan. ”Kita sangat menyesal dengan perbedaan penafsiran putusan ini,” kata Petrus Bala Wukak.
Pertanyaan kita: kalau benar salah tafsir, apa yang tidak jelas dari putusan itu? Vonisnya jelas: tahanan kota. Atas dasar apa muncul salah tafsir: tahanan kota sama dengan tahanan rutan? Vonisnya jelas: tahanan kota itu merujuk kota Lewoleba. Atas dasar apa muncul salah tafsir: kota Lewoleba sama dengan kota Larantuka, sehingga si terpidana harus dirutankan di Larantuka?
Tentu kejaksaan punya alasan. Sayang, dalam berita, kejaksaan belum bicara. Meski demikian, dapat dipastikan, tudingan salah tafsir tidak mereka terima. Malah si penuding bisa balik dituding sebagai pihak yang salah menafsir tafsiran kejaksaan. Atau, bisa saja, pengadilan yang malah dituding salah memvonis. Semestinya Wau itu di-rutan-kan, koq di-tahanan-kota-kan.
Apa pun itu, dampaknya sama. Apakah karena kejaksaan lupa eksekusi atau salah tafsir putusan pengadilan atau apa pun penyebabnya, tetap saja Wau dikorbankan. Dia sudah selesai jalani hukuman atas dasar vonis pengadilan, sekarang dihukum lagi atas dasar eksekusi kejaksaan. Dia sudah jalani vonis tahanan kota, sekarang jalani lagi eksekusi tahanan rutan. Dia sudah jalani vonis di Lewoleba, sekarang jalani lagi vonis di Larantua.
Apa yang terjadi di sini? Orang dihukum dua kali dalam kasus yang sama. Istilah Latinnya: bis in idem. Ini tidak dapat dibenarkan. Semestinya: non bis in idem. Seseorang tidak boleh dihukum dua kali dalam kasus yang sama. Asas ini dilanggar telak-telak di Lewoleba.
Kasihan si Wau. Dihukum dua kali. Hukuman pertama, karena kesalahannya sendiri. Hukuman kedua, karena kesalahan penegak hukum. Untuk kesalahannya sendiri, ia sudah dihukum. Untuk kesalahan penegak hukum, apa hukumannya? Wau harus gugat! Dasarnya, bukan hanya karena dia dikorbankan, tapi juga karena kesalahan penegak hukum itu berbahaya, sekecil apa pun.
Bagi penegak hukum, berlaku ungkapan ini. The danger of small mistakes is that those mistakes are not always small. Bahaya dari kesalahan-kesalahan kecil adalah bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil. Kesalahan kecil bisa akibatkan kesalahan besar. Persoalan pun menjadi lebih besar. Itulah yang terjadi di Lewoleba. Dan Wau jadi korbannya.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar