14 Juni 2010

Memilih Paket NO BODY

Pemilukada dan Fenomena Golput

Oleh Frans Anggal

Sebanyak 14 ribu lebih tidak ikut memilih pada pemilukada Mabar 3 Juni 2010. Total hak pilih 127.384. Yang gunakan hak 112.842 atau 88,60 persen. Yang tidak gunakan hak 14.542 atau 11,40 persen. Mereka tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan (Flores Pos Sabtu 12 Juni 2010).

Secara nominal, jumlah itu kecil. Cuma 11,40 persen. Tapi, coba sandingkan dengan persentase perolehan suara kedelapan paket kontestan. Taruhlah, yang tidak ikut memilih itu dianggap sebagai ‘kontestan’ juga---kita namakan saja paket NO BODY---maka ia termasuk lima besar! Di urutan keempat, setelah GUSTI, FIVA, DAMAI, dan jauh di atas MASHUR, YES, PALMA, PANJI, SAR.

Dengan kelipatan tiga, perolehan suara NO BODY sudah bisa mengalahkan GUSTI. Artinya, yang keluar sebagai ‘pemenang’ pemilukada adalah NO BODY, alias golput. Dengan demikian, pemenang versi KPU tidak benar-benar menang, karena dipilih oleh sedikit suara. Bayangkan, pemimpin yang dipilih minoritas itu harus memimpin mayoritas. Legalitasnya kukuh. Namun kegitimasinya goyah.

Legitimasi itu semakin goyah manakala konstituen ‘memilih’ NO BODY karena merosotnya penghargaan dan kepercayaan terhadap pemilukada. Sayang, tentang motif tidak memilih, berita tadi kurang informatif dan hanya mengabur: “Mereka tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan.”

Apa persisnya “berbagai alasan” itu? Kalau itu hanya alasan teknis, kita tak perlu terlalu khawatir. Masalah teknis, diselesaikan secara teknis, titik. Mengatasinya mudah, minimal untuk pemilukada berikut. Tidak demikian kalau alasannya non-teknis. Terutama jika alasannya: orang tidak berminat lagi pada pemilukada. Terlebih lagi kalau itu disebabkan oleh hilangnya penghargaan dan kepercayaan terhadap pemilukada.

Ini mengkhawatirkan. Sebab, itu sama dengan tidak menghargai dan tidak mempercayai demokrasi yang sedang dibangun. Secara praktis, ini bisa dimengerti. Dari endapan pangalaman, masyarakat tiba pada simpulan: siapa pun pemimpin terpilih, ujungnya sama saja. KKN jalan terus. Cuma wajahnya yang baru. Mentalitasnya tetap yang lama. Maka, buat apa ikut memilih?

Secara teoritis, juga bisa dimengerti, sebagaimana anutan “politik kiri”. Bahwa, demokrasi mengandung “ketakcukupan” sebagai sarana bagi perubahan radikal. Malah sebaliknya. Mengandung tendensi oligarki. Sebab, prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan transaksi politik status quo. Demokrasi seakan hanya kedaulatan partai, bukan kedaulatan rakyat.

Tantangan kita: memulihkan penghargaan dan kepercayaan terhadap demokrasi, termasuk terhadap pemilukada. Secara teoritis, tidak sulit. Argumentasi “politik kiri” bisa dipatahkan, sebagaimana tanggapan filosof Rocky Gerung atas pidato ilmiah Goenawan Mohamad, Demokrasi dan Disilusi, dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture II, Jakarta 23 Oktober 2008.

Menurutnya, demokrasi memang bukan ideal "terbaik" pengaturan politik, tetapi yang "termungkin" untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warganegara. Dengan jaminan itu, terbuka peluang bagi sirkulasi elite dan perubahan susunan politik. Artinya, kendati bertendensi oligarki, hanya demokrasilah yang memungkinkan koreksi politik secara sistemik.

Kalau teoritis itu tidak sulit, tidak demikian secara praktis. Masyarakat luas hanya melihat sejauh mana teori atau ajaran yang benar (ortodoksi) menyata dalam praktik yang benar (ortopraksi). Semakin jauh praktik dari teori, semakin hilang penghargaan dan kepercayaan terhadap demokrasi. Pemilukada pun tidak diminati. Orang lebih suka ‘memilih’ paket NO BODY. Golput.

“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Juni 2010

Tidak ada komentar: