Negara Mau Atur Semua Hal
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua MPR Ahmad Fahran Hamid mengatakan, empat pilar kehidupan bernegara perlu ditegakkan. Yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Ia mengatakan itu pada Rakernas V PMKRI, di Ende, Senin 14 Juni 2010. Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur hanya akan terwujud kalau keempat pilar benar-benar dijadikan tonggak pedoman arah.
Itu ortodoksi, ajaran yang benar. Materinya sejak sekolah dasar. Tak ada soal. Yang jadi soal, ortopraksi, praktik yang benar. Jauh panggang dari api. Tidak ketemu ruas dengan buku. Keempat pilar tidak hanya tidak dijadikan pedoman, tapi mau dirubuhkan dan diganti dengan pilar lain.
Yang memprihatinkan, ketika semua itu berlangsung, negara menjadi penonton. Kalaupun turun tangan, negara ikut terseret menjauhi pilar yang semestinya menjadi penyangga rumah milik bersama bernama Indonesia.
Contoh, dalam hal yang paling peka: kehidupan beragama. Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Dengan demikian, negara tidak boleh ikut campur dalam soal “isi ajaran”. Tugas negara hanyalah menjamin “hak meyakini” suatu agama/kepercayaan.
Negara tidak berhak tentukan ini agama resmi, ini agama tidak resmi. Ini ajaran tepat, ini ajaran sesat. Masuk surga atau neraka, bukan urusan negara. Negara baru boleh turun tangan kalau isi ajaran suatu agama menimbulkan gangguan ketertiban umum. Itu pun sebatas mengadili tindak pidananya, bukan memvonis isi ajarannya. Jika seseorang menghina agama lain, ia diadili melalui pengadilan atas dasar penghinaan itu, bukan atas dasar fatwa suatu lembaga.
Contoh lain, dalam hal paling remeh temeh: ratu kecantikan. Beauty is but skin deep, kata pepatah. Cantik itu hanya setipis kulit. Koq negara ikut campur juga. Negara mau atur semuanya, sampai ke tubuh, kulit, dan (maaf) kelamin warganegara. Itu boleh, tapi sejauh berhubungan dengan tindak pidana. Bukan dengan moralitas. Penilain dan sanksi moral, itu urusan masyarakat. Bukan urusan negara. Karena itu, tidak ada kecantikan pancasilais, kemolekan separatis, keayuan konstitusional, atau ganteng secara sah dan meyakinkan.
Setali tiga uang dalam kasus paling ‘hot’ saat ini: video porno Ariel Peterpan dan Luna Maya. Titik bidik negara semestinya di mana? Pada hubungan seks yang divideokan itu ataukah pada penyebaran video hubungan seks itu? Kalau titik bidiknya hubungan seks, maka negara mengatur-atur hubungan antara tubuh, pikiran, perasaan, dan moralitas. Ini bukan wilayah negara. Ini wilayah masyarakat. Biarkan masyarat yang menjatuhkan sanksi moral.
Tugas negara, membidik si pelanggar ketertiban umum. Si penyebar video. Video itu (privat) menjadi pornografi (publik) karena disebarkan. Kebetulan Ariel dan Luna bukan suami istri. Sendainya mereka suami istri, soalnya sama juga. Apakah mereka harus dihukum oleh negara karena video mereka disebarkan orang lain tanpa sepengetahuan atau sepersetujuan atau atas perintah mereka?
Negara yang mau mengatur semua hal, dari isi ajaran agama sampai urusan kecantikan dan perkelaminan warganegara adalah negara totaliter. Hitler dengan Nazi-nya buat seperti itu. Hanya ada kedaulatan negara. Tak ada kedaulatan rakyat. Ini merubuhkan pilar UUD 1945, bukan? Quo vadis, Indonesia? Engkau sedang melangkah ke mana?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar