29 Mei 2010

Janggalnya KPU NTT

Kemelut Pemilukada Flotim 2010

Oleh Frans Anggal

Di Ngada, Manggarai, dan Manggarai Barat, pemilukada memasuki masa kampanye. Sedangkan di Flotim, tetap bermasalah. Masih buntu pada penetapan paket. KPU Flotim tetap tidak mangakomodasi paket Mondial (Simon Hayon dan Fransiskus Diaz Alffi). Sementara KPU NTT, selaku mandataris KPU Pusat, tidak tegas dalam bersikap.

Ketidaktegasan sikap KPU NTT tampak dari pernyataan ketuanya Djidon de Haan. Dia bilang, jika KPU Flotim tetap tidak mengakomodasi paket Mondial maka KPU NTT tetap pada pendirian membentuk dewan kohormatan. Dewan kehormatan bisa dibubarkan kalau KPU Flotim sudah mengakomodasi paket Mondial (Flores Pos Kamis 27 Mei 2010).

De facto, sekurang-kurangnya hingga pernyataan itu diucapkan Djidon de Haan, KPU Flotim tetap belum mengakomodasi paket Mondial. Kita tidak tahu berapa lama ke-belum-an ini berlangsung. Kita pun tidak tahu kapan toleransi terhadapnya disudahi. Yang jelas, KPU Flotim tetap belum mengakomodasi paket Mondial. Dan, KPU NTT tetap belum membentuk dewan kehormatan.

Dari sisi pencitraan diri, siapa yang menang dalam ’permainan’ ke-belum-an ini? Untuk sementara, KPU Flotim! Dia tetap pada pendiriannya. Bergeming dengan sikap awal, menolak paket Mondial. Citra yang bisa memberkas di mata publik: KPU Flotim benar, maka ia tanam kaki. Citra sebaliknya, menimpa KPU NTT. Merasa diri salah, ia gamang mengambil sikap.

Kalau sampai citra KPU NTT seperti itu, jangan heran. Salahnya sendiri. Dengan belum dibentuknya dewan kehormatan, KPU NTT mencitrakan diri sebagai macan ompong. Tampak menakutkan, tapi tidak menggigit. Macan yang tidak menggigit tidak pantas ditakuti. Pantasnya ditunggang. Pantas, KPU Flotim terkesan tidak ciut nyalinya. Pembentukan dewan kehormatan seakan cuma auman kosong macan ompong. Sebagai ancaman, ia tidak menakutkan. Sebagai daya tawar, ia hambar.

Semestinya KPU NTT sudah membentuk dewan kehormatan. Sebagaimana pada berbagai lembaga dan ikatan profesi. Dasarnya filosofisnya, falibilitas manusia. Yakni potensi manusia untuk berbuat salah: melanggar hukum dan mengangkangi kode etik. Yang melanggar hukum berurusan dengan penegak hukum. Yang melanggar kode etik berurusan dengan dewan kehormatan.

Karena itulah, Ikatan Dokter Indonesia, misalnya, punya dewan kehormatan. DPR(D) punya dewan kehormatan. Dst, dst. Semestinya KPU juga punya. Sebab, potensi pelanggaran kode etik itu melekat pada falibilitas manusia. Karena itu, jangan tunggu ada pelanggaran kode etik dulu baru runggu-rangga bentuk dewan kehormatan.

Yang terjadi pada KPU NTT, janggalnya minta ampun. Kejanggalan pertama: KPU Flotim sudah lakukan pelanggaran kode etik, bahkan secara berulang, tapi KPU NTT masih tunggu pelanggaran berikutnya sebagai persyaratan pembentukan dewan kehormatan. Ia tidak mendasarkan pembentukan dewan kehormatan pada filosofi falibilitas manusia.

Kejanggalan kedua: rencana pembentukan dewan kehormatan ia komoditaskan sebagai ancaman atau daya tawar kepada KPU Flotim. Formulanya: jika paket Mondial tidak diakomodasi, dewan kehormatan dibentuk. Jika paket Mondial diakomodasi, dewan kehormatan bisa dibubarkan. Ini apa-apaan?

Dengan persyaratan janggalnya itu, KPU NTT merendahkan eksistensi dewan kehormatan yang akan dibentuknya. Itu berarti, ia merendahkan martabatnya sendiri. Mencitrakan dirinya naif. Dan, secara tidak langsung, memantaskan dirinya diremehkan oleh KPU Flotim.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Mei 2010

Tidak ada komentar: